Saat Hidup tidak lagi bersahabat dengan kita... Tetap lah "pegang erat Tangan Tuhan" Jangan pernah kau berpaling dari NYA, sebab TUHAN lah sumber pertolongan kita kemarin, hari ini , besok dan untuk selama-lama nya...

Sabtu, 27 Agustus 2011

Membalas Dendam

Kemarahan dan dendam adalah sifat keji yang menguasai orang berdosa.

Orang yang membalas dendam akan dibalas oleh Tuhan. Tuhan menghitung-hitung dosanya. Tetapi orang yang mengampuni kesalahan orang lain akan diampuni jika ia berdoa.

Orang yang dendam terhadap orang lain tak dapat mengharapkan pengampunan dari Tuhan. Kalau ia tidak mau mengampuni seorang manusia seperti dia, jangan berdoa supaya dosa-dosanya diampuni.

Kalau manusia yang lemah menyimpan dendam, ia tak usah mengharapkan pengampunan bagi dosa-dosanya.

Ingatlah bahwa suatu ketika engkau akan mati dan tubuhmu menjadi busuk. Sebab itu hentikanlah permusuhan dan taatilah semua perintah.

Ingatlah perintah Tuhan dan jangan dendam terhadap sesama manusia. Ingatlah perjanjian Allah Yang Mahatinggi dan maafkanlah kekeliruan orang.
Sirakh 27:30 , 28:1-7



oleh Hidup Baru pada 23 Juni 2011 jam 13:53

.

Berapa kali kamu ingat AKU sepanjang perjalanan?

Seorang pertapa saleh tinggal di dalam gua, di belahan hutan yang paling dalam di sebuah gunung tinggi. Begitu suci hidupnya hingga ia beranggapan bahwa dialah manusia yang paling saleh dan yang paling mencintai Tuhannya.

Tuhan membaca semua pikirannya. Datanglah ia dalam angin badai, menjumpai pertapa ini. Berkatalah Ia: "Hai pertapa, pergilah kau ke sebuah sungai yang mengalir di tepi sebuah desa di kaki gunung ini. Temuilah seorang petani yang sedang membajak sawahnya. Ia adalah orang yang berbakti kepada-Ku, belajarlah dari dia."

Lalu pergilah ia ke tempat yang dimaksud Tuhannya dan bertemu dengan petani yang dimaksud. Ia perhatikan, sebelum membajak ia menundukkan kepala. Saat makan siang tiba, petani ini menundukkan kepala lagi. Diamatinya terus, pada malam hari ia menundukkan kepala lagi. Pertapa ini berpikir: "Sehari hanya 3 kali berdoa singkat, bagaimana ia disebut berbakti kepada Tuhan?"

Lalu Tuhan berkata kepada pertapa ini: "Pergilah mengelilingi desa itu dengan membawa gelas berisi air penuh. Jangan menumpahkan setetespun!"
Pertapa ini melakukannya.

Bertanyalah Tuhan: "Berapa kali kamu ingat Aku sepanjang perjalanan?"

"Tidak sekalipun ya Tuhan. Bagaimana aku ingat Engkau kalau Engkau menyuruhku memperhatikan air dalam gelas ini supaya tidak tumpah?"

Kata Tuhan: "Gelas ini menguasai pikiranmu, sehingga tak sekalipun engkau berpikir tentang Aku. Tapi lihatlah petani ini. Di saat-saat sibuk, membajak sawahnya, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, ia masih ingat kepada-Ku."

Apakah saudara seperti pertapa ini dimana saudara berkonsentrasi hanya pada kegiatan dan pekerjaan saudara, tidakkah anda mengingat beberapa detik saja untuk bersyukur atas penghidupan saudara?



oleh Hidup Baru pada 24 Juni 2011 jam 9:29

Menunda

Adalah baik untuk menyanyikan syukur kepada Tuhan, dan untuk menyanyikan mazmur bagi nama-Mu, ya yang Mahatinggi, untuk memberitakan kasih setia-Mu di waktu pagi, dan kesetiaan-Mu di waktu malam, dengan bunyi-bunyian sepuluh tali dan dengan gambus. Dengan iringan kecapi. Sebab telah Kaubuat aku bersukacita, ya Tuhan, dengan pekerjaan-Mu, karena perbuatan tangan-Mu aku akan bersorak sorai (Mazmur 92 : 2 – 5)
Terlambat memang tidak enak, karena efek negatifnya bisa sambung menyambung. Pagi tadi saya terlambat mengejar bis nomor 26 yang berangkat setiap pukul delapan lebih dua puluh tujuh menit, walau saya sudah berlari-lari dengan tas bergantung di pundak. Bis nomor 26 adalah bis yang akan membawa saya ke tempat kursus saya sehari-hari.

Keterlambatan itu sebenarnya akibat berantai dari keterlambatan saya keluar dari rumah, untuk menaiki trem pukul delapan lebih duapuluh yang akan membawa saya sampai di stasiun bis tepat pukul delapan dua puluh lima. Dalam keadaan tidak terlambat, saya masih punya dua menit untuk berjalan ke platform bis nomor 26, dan saya akan sampai di kelas saya sebelum dimulai pukul sembilan tepat. Kelas saya memang selalu dimulai sangat tepat waktu. Bila sejak keluar rumah saya sudah terlambat, saya harus naik trem di jadwal lima menit berikutnya dan saya hanya bisa berdoa bis no 26 berangkat sedikit terlambat, yang sayangnya hal itu jarang terjadi. Terlambat masuk ke dalam kelas menimbulkan rasa jengah bagi diri sendiri dan mengusik konsentrasi teman-teman yang sudah berada di dalam kelas. Saya juga akan kehilangan petunjuk-petunjuk penting dari pembicara berkaitan sistem yang akan dipakainya saat mengajar atau tugas yang nanti akan diberikan. Dan rentetan kerugian ini masih bisa saya lanjutkan. Bekal makan siang yang saya siapkan secara terburu-buru tidak sempat saya tutup dengan baik di dalam kotaknya, sehingga ketika saya mengejar bis yang melaju, sebagian isinya tumpah di dalam tas dan mengotori tas kesayangan saya. Semuanya berawal dari terlambat keluar dari rumah.

Tentu saja waktu yang tersedia bagi saya tidak perlu sesempit itu, bila saya melakukan antisipasi waktu yang cukup sejak berangkat dari rumah, yaitu selalu mengusahakan untuk keluar rumah sejak pukul delapan tepat atau kurang. Ada sesuatu yang membuat antisipasi yang seharusnya saya lakukan itu gagal, yaitu kebiasaan menunda. Menunda untuk melakukan hal yang penting dan kegagalan memprioritaskan hal yang paling penting. Menunda, terutama hal-hal yang bersifat rutinitas dan kewajiban, apalagi bila hal itu sebuah pekerjaan yang memerlukan pengorbanan, memang godaan yang sering saya hadapi. Sebuah kegiatan yang kita sukai seringkali membuat kita menunda melakukan hal lain yang penting yang seharusnya kita prioritaskan untuk dikerjakan. Kecenderungan ini ditangkap di dalam Amsal 6 : 10, “Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring”.

Memang bukan mengantuk atau berlambat-lambat bangun dari tempat tidur yang membuat saya terlambat. Menempatkan prioritas kegiatan sangat berperan. Bila saya memilih untuk tidak membuka email atau Facebook, melihat foto teman-teman masa SMA yang baru saja mengadakan reuni, dan memilih segera mematikan komputer untuk segera bersiap berangkat, kemungkinan besar tidak akan ada adegan mengejar bis yang sudah terlanjur bergerak meninggalkan stasiun. Keputusan untuk bangkit dari kursi dan mematikan komputer atau menunda membuka internet di pagi hari adalah sebuah keputusan besar yang harus dibuat kebanyakan manusia di jaman komunikasi maya ini. Bila saya tidak segera mengambil keputusan tentang hal ini, waktu-waktu bersama keluarga dan bahkan waktu-waktu yang seharusnya menjadi milik Tuhan dalam doa pribadi menjadi taruhannya. Kemampuan mengatur waktu dan menempatkan prioritas perlu terus menerus saya pelajari di dalam pergerakan tekonologi komunikasi dan pergaulan dunia maya yang berkembang dengan luar biasa pesat selama sepuluh tahun terakhir. Facebook dan email dengan cepat telah menggantikan waktu-waktu doa pribadi di awal hari, atau merenggut kebersamaan bercengkerama bersama suami dan anak-anak. Sebuah terobosan teknologi komunikasi yang nyaris memutus komunikasi dengan orang terdekat di dalam keluarga. Ia mendekatkan teman yang terpisah waktu dan jarak. Tetapi kalau tidak hati-hati, ia juga sekaligus menjauhkan orang-orang yang berada di samping kita, yang seharusnya menjadi perhatian kita yang paling utama.

Bila hal-hal yang kita sukai atau yang kita anggap penting lebih mendominasi perhatian dan waktu kita daripada hal-hal yang seharusnya kita kerjakan dan itu menyangkut waktu-waktu doa, maka kebiasaan menunda menjadi serius. Mungkin ada kesalahan menempatkan prioritas di sana. Beberapa teman yang saya jumpai dalam sebuah kelompok doa bercerita bahwa mereka seringkali “merasa” tidak punya waktu untuk berdoa dan sejenak merenungkan Firman Tuhan sekalipun mereka ingin. Rasanya sulit sekali memasukkan waktu doa rutin ke dalam jadwal harian yang telah begitu padat dan mereka mengharapkan ada lebih dari 24 jam per hari supaya mereka lebih bisa mempunyai waktu luang untuk berdoa. Itulah masalahnya,mencari waktu luang untuk berdoa. Menunda sampai kita merasa semua pekerjaan sudah selesai untuk mulai berdoa. Tidakkah seharusnya berdoa dan menyediakan waktu khusus untuk Tuhan menjadi prioritas nomor satu yang mendahului kegiatan yang lain ? Kedekatan relasi yang kita bangun bersama Tuhan akan berbeda bila kita berdoa dan membaca FirmanNya di saat seluruh tubuh masih segar dan kondisi prima, dibandingkan kalau kita menempatkannya di waktu yang tersisa dari kegiatan rutin kita saat mata telah berat dan badan telah lunglai siap untuk tidur. Maka waktu untuk berdoa sesungguhnya bukan dicari, tetapi diciptakan.

Bentuk lain dari menunda adalah mengatakan pada diri sendiri, besok saya akan berdoa lebih baik dan menyediakan waktu khusus, karena hari ini saya sudah lelah sekali dan saya berjanji besok akan lebih baik. Bandingkan jika saya mengatakan demikian, hari esok belum menjadi milik saya, satu-satunya yang saya miliki adalah hari ini, saat ini. Maka saya akan berdoa sekarang juga, saat ini juga, dan begitulah kita katakan hal itu setiap hari, sehingga kita menjadikannya kebiasaan. Jika kita memilih sikap yang kedua,kita akan mendapati diri kita telah berhasil mempunyai waktu doa yang khusus sambil merenungkan FirmanNya di setiap hari.

Tuhan tidak pernah menunda-nunda berkatNya karena cintaNya kepada kita. Tuhan yang memberi kita hidup, Dia yang mengajarkan arti hidup karena cinta, oleh cinta, dan dalam cinta. Sesungguhnya Dia jugalah Pihak yang pertama kali menangis bersama kita saat kita menghadapi kepedihan dan penderitaan hidup. Dia sudah sepantasnya mendapat waktu yang terbaik dari seluruh hari, karena Dia jugalah yang telah memberikan kita hari dan kesehatan untuk melaluinya. Namun itulah cinta Tuhan. Dia tidak pernah menuntut. Dia menunggu kita memutuskan untuk memberikan waktu kita kepadaNya dengan kesadaran, kebebasan, dan cinta. Bukan dengan terpaksa atau karena sekedar merasakannya sebagai kewajiban dan rutinitas.

Seberapa pentingnya Tuhan dalam hidup saya juga tercermin dalam menghadiri perayaan Ekaristi. Alangkah baiknya berusaha untuk datang beberapa menit sebelum Misa dimulai, supaya bisa berdoa dan menyapaNya terlebih dulu secara cukup. Bahkan meluangkan waktu khusus di rumah sebelum berangkat untuk bersiap-siap secara rohani supaya saya sungguh siap dan layak berjumpa denganNya. Maka tidak menunda dan cermat menempatkan prioritas menjadi sangat penting dalam relasi saya dengan Tuhan. Seperti halnya penundaan saya berangkat ke tempat kursus membuat saya mengalami berbagai kerugian berantai, menunda waktu-waktu doa dan menunda membangun relasi yang intim dengan Tuhan membuahkan kerugian berantai yang mungkin tidak saya duga sebelumnya. Jika tiba-tiba saya mendapati hati dipenuhi iri hati, dendam, kurang belaskasihan, menghakimi, malas, korupsi waktu dan uang, hilangnya damai sejahtera dalam relasi dengan sesama, maka itulah saatnya saya perlu mengenali mungkin ada suatu penundaan serius yang sedang saya lakukan. Itulah saatnya saya datang kepada Tuhan tanpa menunda lagi. Saya jadi teringat kata-kata dari seorang kudus, saya lupa nama beliau, ini pesannya: “Orang-orang yang selalu berdoa sulit untuk jatuh ke dalam dosa. Sebab doa yang tak jemu-jemu menghindarkan kita dari kecenderungan untuk berbuat dosa.” (uti)





sumber: http://katolisitas.org/2010/06/25/menunda/


oleh Hidup Baru pada 27 Juni 2011 jam 10:45

Pembelajaran terus menerus

Pada dasarnya, setiap orang harus memutuskan sendiri cara bagi dirinya sendiri agar bisa terus menerus mengembangkan diri dan pembelajaran dalam hidupnya. Di sini kita harus menilai secara seksama untuk apa saja pemakaian waktu kita dan seberapa banyak waktu yang kita sia-siakan dan kemudian membentuk disiplin mental yang amat kuat untuk tidak menyia-nyiakan waktu.



Semakin kuat disiplin seseorang dalam BERFOKUS pada hal-hal penting dan semakin besar keyakinan yang membara dalam hatinya, maka akan menjadi amat mudah untuk mengatakan “TIDAK” dengan senyum bahagia dan ceria terhadap segala gangguan yang sudah pasti akan datang.



Jadikan hari Anda indah, karena Kasih Tuhan selalu hadir dalam setiap proses pengembangan diri Anda..



Salam dan GBU



Rm YusTL pr

oleh Hidup Baru pada 28 Juni 2011 jam 8:21

Sombong

Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, benih-benihnya kerap muncul tanpa kita sadari.

Di tingkat pertama,
sombong disebabkan oleh faktor materi.
Kita merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.

Di tingkat kedua,
sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan.
Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain.

Di tingkat ketiga,
sombong disebabkan oleh faktor kebaikan.
Kita sering menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.

Yang menarik....,
Semakin tinggi tingkat kesombongan,
Semakin sulit pula kita mendeteksinya.
Sombong karena materi sangat mudah terlihat,
namun sombong karena pengetahuan,
apalagi sombong karena kebaikan,
sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.
Cobalah setiap hari, kita memeriksa hati kita.
Karena setiap hal yang baik dan yang bisa kita lakukan,
semua karena ANUGRAH TUHAN.

Kita ini manusia hanya seperti debu, yang suatu saat akan hilang dan lenyap.
Kesombongan hanya akan membawa kita pada kejatuhan yang dalam. . .



sumber: tidak diketahui

Roh Kudus, Roh Cinta Kasih

Seorang anak remaja berdiri di kaki sebuah gunung. Gunung itu tampak begitu tinggi dan terjal, berdiri tegak di depannya seolah menantang. Ditariknya napas dalam-dalam, mengatur sengal-sengalnya yang terjadi karena napasnya yang pendek. Ia harus mendaki gunung itu, padahal ia mengalami gangguan pernapasan, dan sejenak anak itu memandang kakinya. Rupanya kakinya timpang sebelah, sudah sejak ia kecil. “Bagaimana mungkin aku bisa mencapai puncak gunung itu?” tanya sang remaja itu kepada dirinya sendiri dengan sedih. “Aku membutuhkan sesuatu yang membuat hal ini menjadi mungkin.”

Tiba-tiba dilihatnya seekor burung merpati putih yang sangat indah terbang mendekat kepadanya. Matanya yang jernih mengundangnya untuk naik mendaki gunung yang tinggi itu. Sinar matanya meneguhkan hati remaja muda itu untuk berani memulai langkah pertama pendakiannya. “Baiklah, aku akan mencoba mendaki gunung ini, tetapi engkau jangan meninggalkan aku, ya?” kata sang remaja itu kepada merpati putih. Seolah mengerti apa yang dikatakan, merpati putih itu pun mengangguk-angguk dan dimulailah perjalanan pendakian gunung yang tinggi dari seorang remaja timpang dan merpati putih.
Demikianlah gambaran setiap anak manusia yang hendak mendaki gunung Allah. Segala kelemahan dan cacat celanya membuat kaki rohaninya timpang dan napasnya pendek. Ia membutuhkan seekor burung merpati indah yang mendampingi dan menguatkannya. Di manakah dapat kita temukan merpati itu? Merpati itu tidak lain adalah Roh Kudus, Roh yang menolong kita untuk bisa sampai kepada Tuhan, puncak segala kesempurnaan. Roh Kuduslah yang membuat kita mengenal Bapa dan mengakui Yesus sebagai Tuhan kita.

“Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: "ya Abba, ya Bapa!" (Rm 8:15)

“…tidak ada seorang pun, yang dapat mengaku: "Yesus adalah Tuhan", selain oleh Roh Kudus.” (1Kor 12:3b)

Allah adalah kasih (1Yoh 4:8,16), kasih-Nya dari kekal hingga kekal. Seluruh keberadaan Allah adalah kasih, dan dengan penuh cinta kasih Ia memandang gambaran kemuliaan-Nya, yang tidak lain adalah Putra. Putra juga mencintai Bapa dengan cinta kasih yang sama. Cinta kasih antara Bapa dan Putra ini merupakan pemberian diri satu sama lain. Santo Agustinus mengatakan bahwa cinta abadi dan saling pemberian diri antara Bapa dan Putra ini tidak lain adalah Roh Allah sendiri, yang biasa kita sebut dengan Roh Kudus atau Roh Cinta kasih.

Roh Kudus adalah Pribadi ketiga dari Allah Tritunggal. Roh Kudus inilah yang dicurahkan ke dalam jiwa kita saat dibaptis. Oleh karena itu, untuk mencari Roh Kudus kita tidak perlu mencari ke mana-mana, karena Ia berada begitu dekat, yaitu di dalam diri kita sendiri. “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, …dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” (1Kor 6:19)

Yesus pernah berkata bahwa Ia akan menyertai kita selalu sampai akhir zaman (bdk. Mat 28:20). Kehadiran penyertaan Yesus yang nyata dalam hidup kita terwujud lewat perutusan Roh Kudus. Setiap jiwa dalam keadaan rahmat merupakan tabernakel yang hidup. Jika kita harus menghormati Yesus yang hadir dalam tabernakel, kita juga harus menghormati Roh Kudus yang diam di dalam jiwa kita. Kehadiran Roh Kudus dalam jiwa kita sungguh merupakan kejadian yang mengagumkan, karena mengungkapkan cinta Allah yang memberikan Diri-Nya seutuhnya kepada kita. Cinta-Nya yang besar telah membuat hati kita menjadi tempat persemayaman-Nya, sehingga hati kita menjadi surga kecil tempat kediaman Allah. Dengan gagah berani Santo Ignasius dari Antiokia pernah berkata kepada Kaisar Trajanus yang sering menghina umat kristiani, “Jangan menghina Ignasius, pembawa Allah.” Tentu saja Trajanus menjadi heran dengan sikap Ignasius dan bertanya, “Mengapa kamu berkata bahwa kamu adalah pembawa Allah?” “Karena Allah ada dalam diriku,” jawab Ignasius tegas. Roh Kudus ada di pusat keberadaan jiwa kita. Ia ada begitu dekat, begitu intim. Dialah pusat jiwa kita, jantung hati kita, poros kehidupan kita.

“Aku capek sekali, tidak kuat lagi. Kita berhenti dulu, ya?” mohon si remaja timpang kepada merpati putih. Kebetulan di dekatnya ada sebuah mata air yang sangat jernih. Maka dengan penuh kehausan ia pun mereguk air segar itu dengan lahapnya.

Di setiap kedahagaan dalam kehidupan, jiwa kita mendambakan suatu kesegaran adikodrati yang dapat menyirami setiap lekuk hati kita hingga sudutnya yang terdalam. Hanya di dalam Yesus sajalah kita menemukan kepuasan untuk setiap kehausan, karena Ia adalah Sang Air Kehidupan. “…barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal" (Yoh 4:14).

Yesus rindu agar kita masing-masing datang kepada-Nya dan mereguk kasih-Nya yang bening. Jika kita minum daripada-Nya, maka kita tidak akan haus lagi karena dari dalam diri kita akan memancar mata air yang terus menerus mengalir hingga sampai kepada hidup yang kekal. Mata air yang terus memancar di dalam diri ini tidak lain adalah Roh Kudus. Roh Kudus, yang merupakan Roh Cinta kasih, menenggelamkan kita di dalam kasih ilahi yang tak bertepi.

Salah satu alasan Yesus Kristus membiarkan Diri-Nya wafat di kayu salib, adalah agar kita menerima Roh Kudus. “Namun benar yang Kukatakan ini kepadamu: Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu” (Yoh 16:7).
Di atas Kalvari, Yesus memberikan tiga anugerah terindah bagi manusia, yaitu Diri-Nya sendiri, ibu-Nya, dan Roh-Nya. Dari Injil Yohanes kita dapatkan bahwa setelah para serdadu menikam lambung Yesus, segera mengalirlah keluar darah dan air. Darah dan air ini melambangkan Roh Kudus yang tercurah bagi manusia. Segera setelah wafat Kristus, cinta ilahi yang kekal mengalir, membanjir deras menyirami setiap jiwa yang kering dan retak karena dosa, menghidupkan kembali pembuluh-pembuluh darah yang telah lama membeku, dan menghangatkan mereka yang sudah lama menggigil dalam gelap.

Roh Kudus yang bagaikan mata air terus mengalir itu membersihkan jiwa kita, dan membuat kita semakin lama semakin ilahi. Santo Sirilus mengatakan, “Roh Kudus memberikan cap ke dalam diri kita suatu gambaran ilahi dan menganugerahkan kepada kita keindahan yang luar biasa. Kita menjadi Bait Roh Kudus karena Ia sungguh-sungguh berdiam di dalam kita. Oleh karena itu, kita disebut ilahi. Persatuan kita dengan Roh Kudus inilah yang membuat kita mengambil bagian dalam kodrat Allah, sungguh suatu hal yang melampaui pemahaman manusia.”
Dengan tangan ilahi-Nya Allah menciptakan kita. Dengan tangan ilahi-Nya pula Allah membentuk dan mengubah kita agar semakin hari semakin serupa dengan gambaran-Nya. Dia menciptakan kita dengan cinta yang istimewa. Dan dengan penuh kasih dan perhatian pula Ia menenun helai demi helai keindahan di jiwa kita melalui Roh Kudus, jari jemari ilahi Sang Seniman Agung. Santo Thomas Aquino mengatakan, “Kebaikan ilahi-Nya yang tak terhingga belum puas dengan semua karunia kodrati yang diberikan kepada kita. Dia memutuskan untuk mengangkat kita ke tingkatan ilahi dengan penciptaan baru dan masih lebih mengagumkan, Dia membuat kita seperti Allah.”

Pada saat proses pemurnian dan pembentukan itu terjadi, seringkali kita merasakan sakit. Bagaimana tidak sakit, jika kaki yang sudah lama bengkok diluruskan? Jika bibir yang sudah lama sumbing dinormalkan? Jika jantung yang biasa berdetak pendek dilatih sampai napas tak tersengal lagi? Akan tetapi, demikianlah Roh Kudus bekerja memulihkan kita dari segala cacat cela dan kelemahan, sehingga semakin hari kita semakin serupa dengan gambaran Allah. Santo Gregorius dari Nazianze berkata, “Jadilah alat yang baik yang dibunyikan oleh Roh Kudus, sebab Ia sanggup menciptakan melodi ilahi yang menyanyikan kemuliaan dan kekuasaan ilahi.”

Kesucian adalah akibat dari kehadiran Roh Kudus yang bersemayam di dalam jiwa kita. Santo Yohanes Krisostomos mengatakan, “Sebelum kita menerima Roh Kudus, kita seperti seorang yang dibebani dengan umur dan kelemahan. Akan tetapi, jika Roh Kudus datang ke dalam diri kita, kita dibuat muda, indah, dan penuh dengan energi.”

Mengapa Allah melakukan semua ini? Semata-mata karena cinta. Ia begitu mencintai kita sehingga Ia membuat kita serupa dengan gambaran-Nya. Dengan demikian, Ia melayakkan kita untuk duduk di sisi-Nya dalam kerajaan Surga, untuk ikut merasakan sukacita dan kemuliaan-Nya sebagai anak-anak yang dikasihi-Nya.

Semakin lama semakin tinggi pula gunung yang didaki oleh si remaja timpang didampingi merpati putihnya yang setia. Tiba-tiba sang remaja pun menyadari suatu hal yang tak pernah diimpikan dalam hidupnya, “Hei merpati, lihatlah, kakiku sudah bisa melompat-lompat dengan lincahnya. Aku tidak timpang lagi! Napasku pun tak tersengal lagi!” Bagaikan seekor anak rusa ia pun melompat-lompat mendaki gunung yang terjal dan berbatu penuh sukacita. Tak terasa akhirnya sang remaja pun tiba di puncak gunung yang tinggi itu. Akan tetapi, ia kini bukan lagi si remaja yang sama dengan remaja di kaki gunung. Kakinya tidak timpang lagi, napasnya tak tersengal lagi, wajahnya berseri segar kemerahan diterpa udara gunung yang sejuk. Hatinya penuh damai dan sukacita terpancar dari sorot matanya yang berbinar penuh kegembiraan menatap sang merpati putih, sahabatnya yang baik dan setia. “ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku” (Hab 3:19).

Saat ini sepasang mata merpati putih nan lembut itu menatap kita, mengajak kita untuk mendaki gunung Allah. Jangan lihat kaki kita yang timpang atau napas kita yang tersengal, tetapi pandanglah tangan-Nya yang kuat, cinta-Nya yang setia, dan kemahakuasaan-Nya yang membuat tiada apa pun yang mustahil bagi-Nya. Maukah kita menjawab “Ya” atas undangan-Nya? Kita hanya perlu mengangguk lembut, dan Ia pun akan menerbangkan kita di atas kepak sayap-Nya. Menerbangkan kita menembus awan-awan surgawi, dan mempersatukan kita dalam cinta kasih-Nya sebagai mempelai-Nya yang terkasih.

Ditulis oleh Sr. Maria Skolastika



Sumber: http://www.carmelia.net


oleh Hidup Baru pada 01 Juli 2011 jam 7:00

Devosi Sabtu Pertama untuk Pemulihan

Pada tanggal 13 Juli 1917, Bunda Maria menampakkan diri untuk ketiga kalinya kepada anak-anak dari : Jacinta Francisco, dan Lucia. Bunda Maria memperlihatkan kepada mereka suatu penglihatan yang amat mengerikan tentang neraka dan berkata: “Kalian telah melihat neraka, ke mana jiwa-jiwa para pendosa yang malang itu akan pergi. Untuk menyelamatkan mereka, Tuhan menghendaki agar di dunia diadakan devosi kepada Hati-ku Yang Tak Bernoda….. Aku akan datang untuk meminta Komuni pemulihan pada hari Sabtu Pertama.” Pada tanggal 13 Juli 1917, Bunda Maria menampakkan diri untuk ketiga kalinya kepada anak-anak dari

Pada tanggal 10 Desember 1925, Bunda Maria menampakkan diri bersama Kanak-kanak Yesus kepada Lucia, yang pada waktu itu menjadi postulan (masa percobaan, persiapan masuk biara sebelum masa novisiat) Dorothean di Pontevedra, Spanyol. Bunda Maria berkata kepada Lucia: “Puteriku, pandanglah Hati-ku yang dikelilingi oleh duri-duri, yang setiap saat ditusukkan oleh orang-orang yang tidak tahu berterimakasih, dengan hujatan-hujatan serta rasa tidak tahu terimakasih mereka. Setidak-tidaknya engkau, berusahalah untuk menghiburku, dan menyebarluaskan bahwa aku berjanji untuk menolong pada saat ajal dengan segala rahmat yang dibutuhkan bagi keselamatan jiwa, kepada mereka semua yang pada Sabtu Pertama selama lima bulan berturut-turut: pergi menerima Sakramen Tobat, menerima Komuni Kudus, mendaraskan lima peristiwa Rosario, serta menemaniku selama 15 menit dengan merenungkan peristiwa-peristiwa Rosario, dengan ujud untuk pemulihan Hati-ku Yang Tak Bernoda.

Bayi Yesus menampakkan diri kepada Lucia kembali pada tahun 1926 dan, atas permintaannya, Yesus memberikan persetujuan bahwa “praktek devosi ini dapat dilakukan pada hari Minggu sesudah Sabtu Pertama, karena alasan-alasan tertentu, selama para imam mengijinkan.” Yesus juga mengatakan kepada Lucia bahwa Sakramen Tobat dapat dilakukan dengan tenggang waktu delapan hari dari hari devosi, asalkan orang tersebut berada dalam keadaan rahmat. Di Vatikan, Paus Yohanes Paulus II secara pribadi memimpin doa Rosario pada hari Sabtu Pertama pada waktu menerima-Nya, dengan ujud untuk mempersembahkannya bagi pemulihan Hati Maria Yang Tak Bernoda.

Dalam penampakan Tuhan Yesus selanjutnya pada tahun 1930, Lucia bertanya kepada-Nya mengapa Ia menghendaki devosi lima Sabtu pertama, dan bukannya sembilan atau tujuh sebagai penghormatan atas Tujuh Duka Maria. “Puteri-Ku,” jawab-Nya, “alasannya sederhana.” Yesus mengatakan kepada Lucia bahwa ada lima jenis penghinaan serta hujatan yang dilontarkan terhadap Hati Maria Yang Tak Bernoda:

1. Hujat menentang Maria Yang Dikandung Tanpa Dosa
2. Hujat menentang Maria tetap perawan selamanya
3. Hujat menentang Maria Bunda Allah serta menolak untuk menerima Maria sebagai Bunda segenap umat manusia
4. Hujat yang dilakukan oleh mereka yang berusaha secara terang-terangan menanamkan rasa acuh, benci serta memandang hina Bunda Yang Dikandung Tanpa Dosa dalam hati anak-anak.
5. Hujat yang dilakukan oleh mereka yang menghina Bunda Maria secara langsung dengan gambar-gambar kudusnya.

Suster Lucia, dalam sepucuk surat kepada ibunya, menekankan akan pentingnya Devosi Sabtu Pertama sebagai sarana untuk memberikan penghiburan kepada Bunda Maria. Sr Lucia menulis: “Saya berharap bahwa ibu akan menjawab saya dengan mengatakan bahwa ibu mempraktekan devosi Sabtu pertama serta melakukannya dengan cara yang terbaik, sehingga semua orang yang datang ke rumah ibu turut mempraktekkannya pula. Ibu tidak akan pernah dapat memberikan penghiburan kepadaku yang lebih besar daripada ini….Hiburlah Bunda Surgawi kita dengan devosi Sabtu pertama serta berusahalah agar orang-orang lain pun ikut menghibur Bunda Maria juga, dan dengan berbuat demikian, ibu akan membuatku amat bahagia.”

Ketika kita memenuhi segala persyaratan sederhana yang diminta bagi devosi Sabtu Pertama dengan semangat pemulihan, kita membantu meringankan penderitaan yang diakibatkan oleh penghinaan-penghinaan terhadap Hati Maria Yang Tak Bernoda. Kita juga memperoleh keuntungan dari penyembuhan Tuhan atas dosa, dan kita mulai mengikuti jalan damai-Nya.

Pada saat ini, dilakukan usaha di seluruh dunia untuk menjawab permintaan Tuhan Yesus dan Bunda Maria atas devosi Lima Sabtu Pertama untuk Pemulihan. Di Amerika Serikat, di setiap keuskupan dilakukan usaha untuk memulai devosi Sabtu Pertama di setiap paroki, dan di banyak paroki di Amerika Serikat praktek devosi ini telah dilakukan.

Sesungguhnya orang banyak dapat melihat perubahan-perubahan yang menggembirakan yang terjadi di Eropa Timur dan belahan-belahan bumi lainnya sebagai hasil dari meningkatnya praktek devosi Sabtu Pertama atas permintaan Bunda Maria dari Fatima. Keikutsertaan dalam devosi Sabtu Pertama dapat dilakukan baik secara bersama-sama maupun secara pribadi. Jika devosi dilakukan secara bersama-sama, Rosario dapat didaraskan sebelum atau sesudah Misa Sabtu pagi atau Misa Sabtu sore. Renungan akan peristiwa-peristiwa Rosario dapat dilakukan secara pribadi.

by Father Peffley; Father Peffley's Web Site; www.transporter.com/fatherpeffleyThe First Saturdays of Reparationsumber :

”Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Francis J. Peffley.”


oleh Hidup Baru pada 02 Juli 2011 jam 8:15


Daging dan misa harian

Kisah nyata berikut ini disampaikan kepada saya oleh seorang rubiah lanjut usia yang mendengarkan cerita itu dari mulut (almarhum) Romo Stanislaus SSCC. Suatu hari beberapa tahun yang lalu, di sebuah kota kecil di Luxemburg, seorang kapten penjaga hutan sedang berbicara serius dengan seorang pedagang daging saat seorang wanita lanjut usia memasuki toko itu. Sang pedagang daging menghentikan menanyakan apa yang wanita tua itu inginkan. Dia datang untuk memohon sepotong kecil daging tetapi tidak mempunyai uang. Kapten merasa senang akan perbincangan yang berlanjut di antara sang wanita miskin dan si pedagang daging.

"Hanya sepotong kecil daging, tetapi berapa banyak kamu akan berikan kepadaku ?"

"Maafkan saya, saya tidak mempunyai uang tetapi saya akan menghadiri misa untukmu." Keduanya si pedagang daging dan si kapten adalah orang baik-baik tapi sangat mengacuhkan agama, maka dengan segera mereka mulai mencela jawaban si wanita tua.

"Baiklah kalau begitu," kata si pedagang daging, "Kamu pergi dan hadiri misa untukku dan saat kamu kembali saya akan memberikan kamu daging sebanyak nilai misa itu."

Si wanita meninggalkan toko dan kemudian kembali. Dia mendekati meja kasir dan si pedagang daging melihat dia mengatakan "Baiklah kita akan lihat.”

Si pedagang mengambil sehelai kertas dan menulis diatasnya. "Saya sudah menghadiri misa untukmu." Dia kemudian menaruh kertas itu di timbangan dan sepotong kecil tulang disisi lainnya tetapi tidak sesuatupun terjadi.

Kemudian dia menaruh sepotong daging daripada tulang, tetapi kertas itu masih terbukti lebih berat. Kedua pria itu mulai merasa malu akan ejekan mereka tetapi meneruskan permainan mereka. Sepotong daging besar ditaruh di timbangan, tetapi kertas itu masih lebih berat. Si pedagang daging sesak nafas, memeriksa timbangan, tetapi melihat itu dalam keadaan baik. "Apa yang kamu inginkan wanitaku yang baik, haruskah saya memberikan kamu seluruh kaki daging domba?"

Dengan ini dia menaruh kaki daging domba, tetapi kertas itu melebihi berat daging itu. Sebuah potongan daging yang lebih besar ditaruh, tapi masih lebih berat disisi kertas itu. Ini sangat mengagumkan si pedagang daging sehingga dia bertobat, dan berjanji untuk memberikan jatah daging harian untuk si wanita. Bagi si Kapten, dia meninggalkan toko, dan berubah menjadi seorang pencinta Misa Harian yang sangat rajin. Dua orang dari putra-putranya menjadi imam - seorang Yesuit-dan yang lainnya seorang imam dari Hati Kudus.

Romo Stanislaus menyelesaikan ceritanya dengan mengatakan "Saya adalah biarawan dari Hati Kudus itu, dan si Kapten adalah ayah saya." Dari kejadian itu si Kapten menjadi pengunjung Misa Harian dan anak-anaknya dilatih untuk mengikuti contohnya. Kemudian, saat putra-putranya menjadi imam, dia menasehati mereka untuk merayakan Misa dengan baik setiap hari dan jangan pernah melewatkan Korban Misa karena kesalahan apapun.

Sumber: Children of Medjugorje

Penyembuhan Luka Batin

Seorang gadis menceritakan keluh kesahnya. Dia seringkali diliputi rasa cemas dan bersalah yang berlebihan, setelah melakukan sesuatu yang kurang berkenan di hati orang lain. Sejujurnya, apa yang telah dilakukannya bukanlah menjadi alasan untuk itu. Jadi, sebenarnya dia terlalu sensitif untuk hal yang demikian, karena hanya sebuah kesalahan yang sangat kecil saja, dia harus “menghukum” dirinya sedemikian rupa. Teman-temannya sering kali mencoba meyakinkan gadis ini bahwa perbuatan yang dilakukannya bukanlah suatu masalah. Akan tetapi, perasaan tersebut masih saja membebani dia. Dia menjadi sangat tersiksa sehingga takut bila mendapat suatu tanggungjawab yang cukup besar, karena dia takut mengecewakan orang yang memberikan tanggungjawab tersebut. Dengan demikian, dia harus berjuang untuk menyeimbangkan perasaan dan tanggungjawab yang dijalankannya.

Setelah mengikuti Retret Penyembuhan Batin, baru dia mengetahui bahwa sebenarnya ada “sesuatu” dibalik semua peristiwa yang dialami selama ini. Usut punya usut, ternyata sewaktu dia berada di dalam kandungan, sang ibu merasa takut hamil lagi, sementara anaknya masih kecil. Sang ibu sangat takut, orang tuanya yang sering turut campur dikeluarganya menjadi marah akibat dia hamil lagi. Selama masa kehamilan, sang ibu ini selalu diliputi rasa takut dan was-was. Dia selalu berusaha membuat hati orang tua dan mertuanya senang, supaya dia tidak dipersalahkan dengan kehamilannya itu.
Apapun yang dia kerjakan, dibuatnya sesempurna mungkin supaya tidak ada alasan bagi mereka untuk memarahinya. Dia selalu mengorbankan diri sendiri, apapun akan dilakukan supaya tidak dipersalahkan atas kehamilan tersebut. Semuanya di simpan sendiri dengan rapinya hingga sang suami pun tidak mengetahui perjuangannya. Semuanya dilakukannya secara sempurna dan bila dipandang kurang sempurna dia akan merasa ketakutan, takut mendapat teguran yang pada akhirnya akan mempersalahkan tentang kehamilannya tersebut.

Setelah gadis ini didoakan penyembuhan batin pada masa dalam kandungan, dia mengatakan bahwa ada suatu dalam batinnya yang lepas dari dirinya. Suatu ketenangan dan ketenteraman yang dia rasakan. Hidup terasa menjadi ringan dan tiada beban. Semua tugas-tugas dapat dilakukan dengan ringan dan cepat selesai.

Pengalaman seperti di atas mungkin juga kita alami. Masih banyak lagi pengalaman-pengalaman negatif yang disebabkan oleh luka batin dan menyebabkan efek-efek yang tidak mengenakkan di masa sekarang.

Penyebab luka batin

Setiap kita, manusia, mempunyai alam bawah sadar. Alam bawah sadar, seperti komputer yang dapat merekam segala pengalaman dan peristiwa yang pernah dialami selama hidup di dunia ini, baik peristiwa atau pengalaman yang menyenangkan (positif) maupun yang menyakitkan (negatif).

Masa-masa yang rawan untuk luka batin:

1. Masa dalam Kandungan
Alam bawah sadar sudah dapat merekam sejak kita berada dalam kandungan. Jadi, apa yang dialami dan dirasakan oleh sang ibu, si janin sudah ikut merasakan dan apa yang dirasakan ini terekam dalam alam bawah sadarnya. Maka dari itu, apabila sang ibu yang sedang mengandung mendapatkan kasih sayang dari orang-orang disekitarnya, ini akan mempengaruhi si bayi yang ada dalam kandungan. Demikian pula bila pada masa kehamilannya dia mendapatkan perlakuan yang kurang wajar ataupun kesedihan-kesedihan yang dialaminya, maka inipun akan sangat berpengaruh bagi si bayi. Lebih-lebih lagi, bila bayi dalam kandungan mendapat penolakan atau tidak dikehendaki dilahirkan atau malah pernah akan digugurkan tetapi tidak berhasil. Ini sangat-sangat berpengaruh pada si anak nantinya.
Anak yang pada masa dalam kandungan mendapat penolakan seringkali mengakibatkan si anak menjadi pemberontak, penakut, marah tanpa alasan, dan lain sebagainya.
Atau bila si ibu pada masa kehamilannya, dia mengalami tekanan, rasa kuatir dan putus asa, maka si anak juga akan membawa perasaan-perasaan yang dialami si ibu.

2. Masa Kelahiran
Saat kelahiran adalah saat-saat yang singkat tetapi pada saat-saat yang singkat itupun tidak luput dari bebasnya akar luka batin. Mungkin terjadi kelahiran yang sulit, dan bila terjadi demikian biasanya menjadikan si anak kurang percaya diri, takut tampil di muka umum, atau juga sering merasa bersalah. Atau kelahiran prematur, si anak akan sering merasa minder, tidak berdaya, dan selalu bergantung dengan orang lain.

3. Masa Bayi
Bayi yang seringkali ditinggal oleh orang tuanya (karena kesibukan orang tua) dan diserahkan kepada pembantu, akan membuat si anak mencari perhatian dari orang lain, karena pada waktu bayi kurang perhatian dan kasih sayang sehingga nantinya akan mencari sesuatu yang kurang itu dalam diri orang lain.

4. Masa Kanak-kanak
Masa kanak-kanak juga menjadi masa yang rawan untuk luka batin. Sebagai contoh, ceritera seorang gadis lagi yang semasa kecilnya seringkali mendengar dan menyaksikan pertengkaran orang tuanya. Ketika peristiwa tersebut terjadi, dia merasa sangat ketakutan dan sebagai anak-anak dia tidak dapat melakukan apa-apa untuk mencegah pertengkaran itu, yang bisa dia lakukan hanyalah menangis. Ternyata peristiwa ini sangat membekas dalam pikiran dan hatinya sehingga pada masa dewasa, bila dia mendengar suatu keributan-keributan dia akan merasa sangat ketakutan dan tak jarang dia akan menangis bila mendengar keributan itu. Akan tetapi, setelah penyembuhan batin dengan mengampuni kedua orang tua dan peristiwa tersebut, maka dia dilepaskan dari ketakutannya.

5. Masa Remaja atau Dewasa
Masa remaja ataupun masa dewasa (sekarang) pun juga masih dapat menjadi akar dari luka batin. Misalnya seorang yang pernah dilecehkan atau pernah diperkosa. Trauma dan peristiwa yang menyakitkan itu akan sangat membekas dan bisa membuat dia antipati dengan lawan jenis sehingga dia menjadi takut menikah.

Metode penyembuhan luka batin
Dengan contoh-contoh pengalaman seperti yang disebutkan diatas, dapat diketahui bahwa efek dari luka batin selain mempersulit dan mempengaruhi dalam kehidupan bersama orang lain. Juga, yang paling dapat dirasakan adalah hilangnya kedamaian dalam hati. Melalui penyembuhan luka batin maka kedamaian yang hilang itu akan dapat diperolehnya kembali.

Kedamaian yang sejati adalah yang dari Yesus sendiri, maka dengan penyembuhan batin yang didasarkan atas kasih Allah dan dengan pengucapan syukur kepada-Nya maka akan mengembalikan damai yang dari Yesus yang mengatasi segala persoalan (Fil 4:7).

Penyembuhan tidak akan terjadi hanya dari satu pihak saja. Kedua belah pihak harus ada, yaitu si penderita dan Tuhan sendiri. Kita tahu pasti bahwa Tuhan selalu terbuka bagi anak-anak-Nya yang datang mohon kesembuhan, jadi tinggal dari pihak yang terluka yang harus bekerjasama dengan rahmat kesembuhan dari Tuhan. Maka dari itu, dalam penyembuhan ini ada syarat-syarat untuk mendapatkan kesembuhan, syarat tersebut antara lain:

Kemauan dari si penderita untuk sembuh. Tuhan sendiri tidak dapat memaksakan rahmat kesembuhan bagi seseorang (lih. Yoh 5:6).

Semangat untuk mengampuni, karena orang yang tidak mau mengampuni berarti menghalangi rahmat Allah. Pengampunan adalah syarat mutlak untuk mendapatkan penyembuhan (lih. Mrk 11:25-26). Pengampunan di sini adalah mengampuni orang yang telah melukai hatinya, mengecewakannya, membencinya dan lain-lain. Pengampunan pertama-tama adalah soal keputusan dan bukan perasaan.

Bila ada dosa, pertama-tama si penderita harus diajak untuk bertobat terlebih dahulu dan dia harus mempunyai keinginan untuk bertobat karena dosa dapat menghalangi karya Tuhan.

Memiliki iman, meski kadang-kadang hal ini tidak mutlak, karena adakalanya Yesus juga menyembuhkan orang yang belum memiliki iman. Hal ini dilakukan oleh Yesus agar nama Bapa dimuliakan melalui karya penyembuhan tersebut.

Dalam doa penyembuhan batin harus ada sikap keterbukaan dari si penderita kepada orang yang akan mendoakan. Sebelum memulai doa penyembuhan batin, dicari dahulu akar-akar terdalam dari luka batin yang menjadi induk dari luka batin tersebut. Setelah ditemukan apa akarnya, bisa berdoa dengan imajinasi iman, yaitu dengan mengenangkan kembali peristiwa pahit yang telah terjadi dalam kehidupannya dan kemudian menghadirkan Yesus dalam peristiwa itu.

Memang cara ini belum tentu semua orang bisa masuk dalam peristiwa pahitnya. Terlebih bagi yang mempunyai luka yang teramat dalam sehingga sangat sulit dan tidak mampu untuk membayangkannya, kadang baru mulai membayangkan sudah ketakutan pada rasa sakit yang pernah dialaminya itu. Bagi kasus yang demikian, si pendoa harus mengambil alih dengan memohon kepada Yesus untuk menuntun kembali ke masa lalunya. Pendoa bisa membayangkan kembali peristiwa tersebut bersama Yesus, berdasar dari cerita si penderita dengan berimajinasi dengan suara keras kemudian si penderita mengikuti tuntunan dari si pendoa. Dalam doa bisa membangkitkan iman si penderita dan iman si penderita sendiri bisa melepaskan kuasa Tuhan untuk penyembuhan.

Metode atau cara penyembuhan batin ini adalah sarana manusiawi yang didasarkan pada suatu pengalaman tertentu, namun metode bukanlah hal yang mutlak harus dilakukan dan dipaksakan, karena pada dasarnya karya penyembuhan adalah merupakan karya Roh Kudus. Oleh sebab itu, dalam doa penyembuhan batin ini peranan pendoa sebenarnya hanya sebagai katalisator dan sesungguhnya yang menjadi penyembuh adalah Tuhan Yesus sendiri.

Suatu hal yang menarik dan sulit untuk dimengerti dengan pikiran kita manusia adalah ketika penyembuhan berlangsung, ternyata Tuhan tidak saja menjamah dan menyembuhkan si penderita tetapi juga menjamah orang yang melukai penderita sehingga kembali memulihkan hubungan diantara mereka.

Apabila sudah disembuhkan dari luka-luka batinnya maka tidak perlu untuk mengingatnya lagi. Lebih baik mengingat kasih Tuhan yang telah menyembuhkan dan memulihkan, sehingga itu dapat menjadi kekuatan yang luar biasa dalam kehidupan selanjutnya.

Ditulis oleh Tim Carmelia

Sumber: http://www.carmelia.net/

oleh Hidup Baru pada 05 Juli 2011 jam 19:36



Trauma

Disekanya wajahnya berulang kali. Satu, dua, tiga, sampai sepuluh kali. Tak jua merasa bersih. Busa sabun pencuci wajah tidak lagi tersisa. Air pun sudah bersih dari wajahnya. Tapi, ia tetap merasa kotor, seolah wajahnya belum lagi dicuci.

Luka itu masih tersisa.

Bukan hanya di wajahnya yang lebam biru hasil kekerasan orang yang dia kasihi, tetapi juga di hatinya. Hati yang dulu begitu putih, seputih salju. Kini merah, berdarah. Terpukul dirinya. Begitu parah.

Perlahan dipandanginya wajahnya lewat cermin wastafel tempat ia menyeka wajahnya dan menggosok giginya. Senyum itu tak lagi manis. Sudut-sudut bibir yang naik, membuat dirinya terlihat sedikit sinis. Kalau tidak bisa dikatakan sadis. Senyum yang menyakitkan. Karena dia tahu, senyum itu adalah senyum dengan keterpaksaan. Setelah selama ini yang dia lakukan hanya menangis.

Beban hidup itu terlalu berat baginya. Berkali-kali dia disakiti oleh orang yang dia cintai. Dia inginkan pulih. Dia inginkan hidupnya kembali berseri. Namun, ternyata itu semua begitu sulitnya.

Orang yang paling dia cintai telah menorehkan luka.
Lagi dan lagi…

Tak hendak ia berlari, karena cinta terlanjur mengikat kedua belah kakinya dan memaksa dirinya untuk tetap tinggal. Tetapi, apakah kekasihnya benar-benar mencintainya? Atau ia hanya bertepuk sebelah tangan belaka?

Kekasih hatinya tempat ia curahkan seluruh cinta…
Sudah sepuluh tahun mereka menjalin cinta. Mesra. Tetapi, waktu pulalah yang membuktikan kalau kekasihnya bukan tipe setia. Sebegitu mudahnya dia main mata pada banyak wanita. Sudah lebih dari sepuluh kali penyelewengan itu terjadi. Dia selalu merasa sulit melepaskannya pergi, setiap kali dia bersimpuh dan memohon maaf untuk kembali. Terkadang, setelah tamparan keras di pipinya. Kekasihnya memaksakan kehendaknya untuk tetap kembali.

Cintakah? Ataukah kebodohan berwujud cinta sampai mati, walaupun terus dilukai?

Akhirnya, dia memutuskan untuk pergi. Dari kehidupan kekasihnya yang sangat dia cintai. Perih, teramat pedih. Tetapi, dia sudah membuat keputusan bulat. Tekadnya sangat kuat. Walaupun sulit dan setengah tertatih, dia putuskan untuk tetap melangkah walau masa depan tak pasti.

Trauma itu terlalu membekas di dirinya.

Tak lagi ingin ia mencinta. Karena cinta ternyata tak seindah ceritanya. Tak seindah film drama, tak semerdu lagu cinta. Muak, menyakitkan, hilang percaya diri, juga hilang harapan akan cinta.

Satu hal yang terus dia ingat dalam hati.
Mungkin dia tak punya kesempatan mencinta lagi. Tetapi, dia tetap ingat dalam hati, bahwa dirinya bukanlah suatu kesalahan atau kesia-siaan.

Penolakan kekasihnya, bukan berarti penolakan seluruh dunia atas dirinya. Dia masih punya orang-orang yang mencintainya. Kakak, Mama, Papa, dan adiknya. Juga sahabat-sahabat dekatnya. Mereka memberikannya harapan dan dirinya menjadi tetap percaya. Bahwa trauma cinta ini akan tersembuhkan pada akhirnya. Dengan cinta dari Sang Ilahi.

Dengan membuka diri pada-Nya dan menyerahkan segala sakit hatinya- termasuk semua jenis trauma yang pernah dia alami. Untuk kemudian suatu saat nanti, sembuh dan dia bisa berdiri. Tegar, walau pernah sakit hati. Memilih untuk menatap masa depan dengan harapan, di tengah seluruh keputusasaan. Merajut impian bersama Tuhan, bahwa masa kini yang buruk, mungkin suatu saat ‘kan berganti.

Trauma itu sering muncul lagi.

Tetapi, tiap kali ia muncul, dia berdoa dan membawanya kepada Sang Maha Tinggi. Dia tak pernah sanggup jalan sendiri. Dan dia ingin serahkan segala mimpi yang pernah dia miliki. Tentang cinta, kekasih, dan keinginan berkeluarga suatu saat nanti…

Percaya, bahwa Tuhan sudah sediakan masa depan yang indah, sesuai dengan rencana-Nya. Mungkin bukan seperti apa yang ada dalam pikirannya selama ini. Namun pasti yang terbaik yang Dia berikan dalam hidupnya nanti.

-fonnyjodikin-

* copas, forward, share? Mohon sertakan sumbernya. Trims.

*tautannya ada di: http://fjodikin.blogspot.com/2011/07/trauma.html

oleh Hidup Baru pada 06 Juli 2011 jam 12:07

KESOMBONGAN

Kesombongan adalah penyakit yang sering menghinggapi manusia. Benih-benih kesombongan kerap muncul tanpa disadari. Ada beberapa penyebab kesombongan. Pertama, kesombongan disebabkan oleh faktor materi. Orang merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain. Kedua, kesombongan disebabkan oleh faktor kecerdasan. Orang merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan daripada orang lain. Ketiga, kesombongan disebabkan oleh faktor kebaikan. Orang sering menganggap dirinya lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus daripada orang lain.

Semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula orang mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat. Sombong karena pengetahuan susah terlihat. Sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin.Oleh karena itu, camkanlah : Setiap hal yang baik dan yang bisa Anda lakukan, semua karena ANUGRAH TUHAN. Manusia hanya seperti debu. Suatu saat akan hilang lenyap. Kesombongan hanya akan membawa Anda pada kebinasaan.


oleh Hidup Baru pada 07 Juli 2011 jam 20:23

Roh kudus

Sering kita menjumpai anak-anak yang senang menonton film kartun tentang dunia roh. Di sana digambarkan tentang roh yang mengganggu dan menakutkan. Namun ada sebuah tayangan menarik tentang si Kasper, roh yang baik. Adakah roh yang baik itu? Siapa dia? Bagaimana bentuk dan rupanya? Apakah sama dengan roh yang sering mengganggu dan menakutkan? Tidak. Roh yang baik amat berbeda dengan roh jahat. Roh yang baik ini dikenal dengan Roh Kudus. Kita kurang menyadari kehadiran-Nya dalam hidup kita, sebab kita belum mengenal Dia. Murid-murid Yesus harus memohon kehadiran Roh Kudus.

Murid-murid Yesus dipenuhi oleh Roh Kudus

Roh Kudus. Apa yang kita pikirkan mengenai kata itu? Siapakah Dia? Bagaimana Dia dapat memenuhi hati para murid? Untuk apa Dia datang? Demikianlah pengalaman para murid Yesus dalam bacaan pertama yang kita dengar hari ini. Murid-murid Yesus dipenuhi oleh Roh Kudus. Mari kita perhatikan peristiwa ini. Para murid tidak mengalami pengalaman rohani yang “aneh-aneh”. Mereka tidak menerima “penglihatan”, “suara-suara”, “cahaya” ataupun “pernyataan-pernyataan” dalam doa. Tidak. Setelah kenaikan Yesus ke surga, mereka berkumpul “bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama” (1:14). Bagaimanapun juga itulah hari yang menurut Lukas, Tuhan Yesus akan memenuhi janji-Nya dengan mengirimkan Roh Kudus ke atas mereka (1:8; Luk 24:49). Para murid menunjukkan arti bertekun dalam doa, bukan untuk mencari penghiburan rohani seperti betapa nikmatnya berdoa berjam-jam ataupun mampu berpuasa berhari-hari ataupun melakukan matiraga yang luar biasa, namun para murid memohon anugerah Roh Kudus. Mengapa para murid memohon anugerah Roh Kudus? Sebab mereka merindukan apa yang dijanjikan Yesus sebelum kembali kepada Bapa (bdk. 14: 15-17.26). Apabila Roh Kudus datang “Dia akan menyertai kamu selama-lamanya” (14:16) dan “Dia akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah kukatakan kepadamu (14:26). Oleh karena itu orang yang percaya kepada Yesus tidak perlu minta yang macam-macam, akan tetapi murid-murid Yesus harus memohon anugerah Roh Kudus. Bila Roh Kudus itu datang dan hadir dalam hati kita maka Dia akan menganugerahkan buah Roh seperti yang diajarkan Paulus: “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri” (Gal 5:22-23).Murid-murid Yesus harus meminta anugerah Roh Kudus.

Perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan oleh Allah

Itulah sebabnya para murid berbicara tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan oleh Allah. Apakah yang mendorong para murid berbicara? Kepada siapa para murid berbicara? Hal apa yang disampaikan para murid? Itulah perutusan murid-murid Yesus yang telah menerima Roh Kudus.Mereka menerima anugerah bahasa untuk berbicara tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan oleh Allah. Mari kita perhatikan pernyataan ini. Para murid tidak berbicara tentang hal-hal besar yang akan mereka lakukan. Mereka tidak mengatakan akan membawakan renungan, kotbah, pengajaran ataupun menyembuhkan orang sakit dan dipuji-dipuji atau dicari-cari umat. Tidak. Murid-murid Yesus berbicara tentang sesuatu yang lain, suatu perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan oleh Allah. Lihatlah betapa bedanya dengan kita yang cenderung sombong dan angkuh. Kita terlalu percaya diri ketika berkotbah, melayani bahkan mendoakan umat tanpa iman kepada Allah. Akhirnya, kita lelah dan merasa gagal bahkan jatuh dalam dosa. Bukankah “Allah menentang orang yang congkak tetapi mengasihi orang yang rendah hati” (bdk. Yak 4:6; 1 Ptr 5:5). Tanpa anugerah bahasa para murid tidak dapat berbicara tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan oleh Allah. Oleh sebab itu tanpa anugerah Roh Kudus seseorang tidak akan menjadi saksi atau utusan Tuhan Yesus Kristus. Para pastor, frater dan katekis harus disadarkan bahwa hanya melalui kuasa Roh Kudus yang adalah “kekuasaan dari tempat tinggi” (Luk 24:49) mereka mampu mewartakan karya agung Allah. Bukan lagi berbicara dengan kata-kata kosong, melainkan menerima Roh yang memampukan mereka berbicara tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan oleh Allah. Itulah sebabnya para murid berbicara tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan oleh Allah.

Penutup

Berdoa memohon anugerah Roh Kudus bukanlah perkara yang mudah, sebab kita senang mencari pengalaman rohani yang muluk-muluk. Bila kita bertekun dalam doa meminta karunia Roh Kudus, kita akan mengenal siapa itu Roh Kudus. Pada saat itulah kita akan menerima anugerah bahasa untuk berbicara tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan oleh Allah. Bukan untuk mencari sensasi, supaya dicari dan dipuji orang, melainkan melalui pencurahan Roh Kudus kita menjadi saksi atau utusan Yesus Kristus. O betapa indahnya dan luhurnya panggilan menjadi murid-murid Tuhan Yesus Kristus





Ditulis oleh fr Serafim Maria

oleh Hidup Baru pada 08 Juli 2011 jam 12:16

Mengenal Santa Maria Magdalena (Pesta 22 Juli 2011)

Kata Yunani "Magdalene" berarti "Orang dari Magdala". Jadi nama Yunani "Mariam he Magdalene" (bdk Mat 28:1) atau "Maria he Magdalene" (bdk Mrk 16:1) berarti "Maria, Orang dari Magdala". Hal ini dijelaskan dengan baik oleh Lukas, yang menuliskan dalam Injilnya: "Maria he kaloumene Magdalene" yang berarti "Maria yang disebut Orang dari Magdala" (bdk Luk 8:2). Kota "Magdala", yang namanya tidak disebutkan dalam Injil, terletak di pantai sebelah barat danau Galilea, di sebelah selatan kota Gennesaret atau Ginnesar. Pada zaman Perjanjian Baru, nama Yunani untuk "Magdala" adalah "Tarikhaea", suatu kota yang terkenal dengan industri perikanan dan perkapalan atau perperahuannya. Kota "Magdala"juga menjadi pusat perdagangan untuk hasil bumi dari sekitar danau Galilea, sehingga kota itu ramai dikunjungi oleh para penjual dan pembeli. Dibandingkan dengan kota-kota lain di sekitarnya, kota "Magdala" termasuk suatu kota yang sangat kaya dan makmur. Oleh Matius, kota "Magdala" ini disebut "Magadan" (bdk Mat 15:39); sedangkan oleh Markus, ia disebut "Dalmanoutha" (bdk Mrk 8:10). Mayoritas penduduk kota "Magdala" adalah orang-orang bukan Yahudi, yang datang untuk berbisnis di situ. Apakah "Maria Magdalena" adalah seorang Yahudi atau bukan Yahudi, tidak dapat diketahui dengan pasti.

Kapan dan di mana Yesus Kristus pertama kali berjumpa dengan "Maria Magdalena", tidak dijelaskan dalam Injil. Juga tidak disebutkan bahwa Yesus Kristus pernah mengunjungi kota "Magdala". Hanya dikisahkan bahwa Yesus Kristus pernah mengunjungi kota Gennesaret atau Ginnesar, kota tetangga kota "Magdala", dan menyembuhkan banyak orang sakit di sekitar daerah itu (bdk Mat 14:34-36; Mrk 6:53-56). Ada kemungkinan bahwa pada waktu itu "Maria Magdalena" adalah salah seorang yang disembuhkan oleh Yesus Kristus, karena baik Markus maupun Lukas menjelaskan bahwa dari padanya Yesus Kristus pemah mengusir tujuh setan atau rohjahat (bdk Mrk 16:9; Luk 8:2). Akan tetapi tidak ada dasar yang kuat untuk menganggap "Maria Magdalena" sebagai seorang perempuan berdosa, seperti yang dikisahkan dalam Luk 7:36-50. Sebab dalam kisah tersebut, nama "Maria Magdalena" sama sekali tidak disebutkan. Namanya baru disebutkan dalam kisah selanjutnya, yaitu kisah mengenai perjalanan keliling Yesus bersama kedua belas murid-Nya dan beberapa orang perempuan (bdk Luk 8:1-3). Andaikata perempuan berdosa itu memang adalah "Maria Magdalena", Lukas tentu tidak perlu menjelaskan lagi identitasnya secara formal (bdk Luk 8:2). Lagi pula Yohana, isteri seorang pejabat tinggi kerajaan (bdk Luk 8:3), pasti tidak suka bergaul dengan seorang yang terkenal sebagai perempuan berdosa (bdk Luk 7:37).

Dalam Injil, kedekatan "Maria Magdalena" dengan Yesus terbatas pada karya pelayanan evangelisasi. Ia ikut berpartisipasi dalam usaha Yesus untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah di wilayah Galilea dengan menyumbangkan kekayaannya (bdk Mrk 15:40-41; Luk 8:1-3). Ia ikut pergi ke Yerusalem bersama Yesus dan rombonganNya untuk memberitakan Injil kepada orang banyak yang tinggal dan datang ke ibu kota tersebut (bdk Mat 27:55; Mrk 15:41; Luk 23:49). Bahkan ia ikut terus sampai pada peristiwa penyaliban Yesus di Golgota (bdk Mat 27:56; Mrk 15:40; Yoh 19:25). Ia juga ikut mengantar jenazah Yesus sampai ke kubur (bdk Mat 27:61; Mrk 15:47; Luk 23:55). Dan setelah mempersiapkan rempah-rempah dan minyak mur (bdk Luk 23:56a), ia ikut pula pergi ke kubur untuk meminyaki jenazah Yesus (bdk Mat 28:1; Mrk 16:1; Luk 24:1; Yoh 20:1). Akhirnya ia pun ikut menyaksikan kubur terbuka dan mendapati jenazah Yesus sudah tidak ada di sana (bdk Mrk 16:4; Luk 24:2-3; Yoh 20:1-2). Selain itu, ia juga ikut berjumpa dengan malaikat yang menjelaskan kebangkitan Yesus dan menugaskan dia untuk pergi menyampaikan kabar gembira itu kepada para murid-Nya (bdk Mat 28:5-7; Mrk 16:5-7; Luk 24:4-7; Yoh 20:11-13). Selanjutnya ia ikut pula berjumpa dengan Yesus sendiri yang mengutus dia untuk pergi mewartakan kebangkitan-Nya kepada para murid-Nya (bdk Mat 28:9-10; Yoh 20:14-17). Bahkan menurut Markus dan Yohanes, ia adalah saksi langsung pertama mengenai kebangkitan Yesus (bdk Mrk 16:9-11; Yoh 20:14-18). Jadi dari kisah-kisah tersebut di atas, memang dapat disimpulkan bahwa "Maria Magdalena" mempunyai hubungan sangat dekat dengan Yesus. Namun demikian, kedekatan ini tidak boleh serta merta diartikan sebagai suatu hubungan asmara yang menjurus ke jenjang perkawinan.



Sumber : Buku “Mengenal Maria Magdalena dan Maria Lain”

oleh Hidup Baru pada 22 Juli 2011 jam 9:13

Lebih berbahagia memberi daripada menerima

Suatu sore,seorang mahasiswa berjalan bersama dosennya. Ketika mereka melihat sepasang sepatu butut di tepi jalan. Mereka yakin sepatu tersebut milik seorang pekerja rendahan yang bekerja di hutan.



Sang mahasiswa berpaling pada dosennya seraya berkata,"Mari kita sembunyikan sepatunya,lalu kita bersembunyi di balik semak-semak dan melihat apa yang terjadi kemudian."



Dosen itu menjawab,"Sobatku, kita tidak seharusnya bersenang-senang dengan mengorbankan orang miskin. Engkau dapat melakukan sesuatu yang lebih baik, dan itu akan mendatangkan kesenangan besar dalam dirimu. Caranya adalah memasukkan uang ke dalam kedua sepatu bututnya. Setelah itu kita bersembunyi untuk melihat reaksi orang tersebut."



Mahasiswa itu pun melakukan apa yg dikatakan dosennya,lalu mereka bersembunyi di balik semak-semak.



Tak lama kemudian, si empunya sepatu keluar dari hutan dan bergegas mengambil sepatunya. Ketika memasukkan salah satu kakinya, ia merasakan ada benda yg mengganjal. Ia pun merogoh ke dalam sepatu. Ia nampak terkejut dan terheran karena ada uang dalam sepatunya. Ia memegang sambil menatap uang tersebut, lalu melihat ke sekeliling apakah ada orang di sekitarnya. Tapi, ia tidak melihat seorang pun disana. Lalu ia memasukkan uang tersebut ke kantongnya,sambil memasang sepatu lainnya. Tapi, lagi-lagi ia terkejut karena ada uang dalam sepatunya yang satu lagi. Perasaan haru menguasainya, ia jatuh tersungkur dan menengadah ke atas. Doa ucapan syukur terdengar jelas dari mulutnya. Ia berbicara mengenai istrinya yang sakit, serta anaknya yang kelaparan karena tak ada uang. Ia bersyukur atas kemurahan yg Tuhan berikan melalui orang yg ia tidak ketahui. Melihat hal itu, sang mahasiswa meneteskan airmata. Ia berpaling pada dosennya seraya berkata, "Kau telah memberiku pelajaran yang tak kan kulupakan. Kini aku mengerti bahwa lebih berbahagia memberi daripada menerima."



sumber: unknown

Suatu sore,seorang mahasiswa berjalan bersama dosennya. Ketika mereka melihat sepasang sepatu butut di tepi jalan. Mereka yakin sepatu tersebut milik seorang pekerja rendahan yang bekerja di hutan.



Sang mahasiswa berpaling pada dosennya seraya berkata,"Mari kita sembunyikan sepatunya,lalu kita bersembunyi di balik semak-semak dan melihat apa yang terjadi kemudian."



Dosen itu menjawab,"Sobatku, kita tidak seharusnya bersenang-senang dengan mengorbankan orang miskin. Engkau dapat melakukan sesuatu yang lebih baik, dan itu akan mendatangkan kesenangan besar dalam dirimu. Caranya adalah memasukkan uang ke dalam kedua sepatu bututnya. Setelah itu kita bersembunyi untuk melihat reaksi orang tersebut."



Mahasiswa itu pun melakukan apa yg dikatakan dosennya,lalu mereka bersembunyi di balik semak-semak.



Tak lama kemudian, si empunya sepatu keluar dari hutan dan bergegas mengambil sepatunya. Ketika memasukkan salah satu kakinya, ia merasakan ada benda yg mengganjal. Ia pun merogoh ke dalam sepatu. Ia nampak terkejut dan terheran karena ada uang dalam sepatunya. Ia memegang sambil menatap uang tersebut, lalu melihat ke sekeliling apakah ada orang di sekitarnya. Tapi, ia tidak melihat seorang pun disana. Lalu ia memasukkan uang tersebut ke kantongnya,sambil memasang sepatu lainnya. Tapi, lagi-lagi ia terkejut karena ada uang dalam sepatunya yang satu lagi. Perasaan haru menguasainya, ia jatuh tersungkur dan menengadah ke atas. Doa ucapan syukur terdengar jelas dari mulutnya. Ia berbicara mengenai istrinya yang sakit, serta anaknya yang kelaparan karena tak ada uang. Ia bersyukur atas kemurahan yg Tuhan berikan melalui orang yg ia tidak ketahui. Melihat hal itu, sang mahasiswa meneteskan airmata. Ia berpaling pada dosennya seraya berkata, "Kau telah memberiku pelajaran yang tak kan kulupakan. Kini aku mengerti bahwa lebih berbahagia memberi daripada menerima."



sumber: unknown


Suatu sore,seorang mahasiswa berjalan bersama dosennya. Ketika mereka melihat sepasang sepatu butut di tepi jalan. Mereka yakin sepatu tersebut milik seorang pekerja rendahan yang bekerja di hutan.



Sang mahasiswa berpaling pada dosennya seraya berkata,"Mari kita sembunyikan sepatunya,lalu kita bersembunyi di balik semak-semak dan melihat apa yang terjadi kemudian."



Dosen itu menjawab,"Sobatku, kita tidak seharusnya bersenang-senang dengan mengorbankan orang miskin. Engkau dapat melakukan sesuatu yang lebih baik, dan itu akan mendatangkan kesenangan besar dalam dirimu. Caranya adalah memasukkan uang ke dalam kedua sepatu bututnya. Setelah itu kita bersembunyi untuk melihat reaksi orang tersebut."



Mahasiswa itu pun melakukan apa yg dikatakan dosennya,lalu mereka bersembunyi di balik semak-semak.



Tak lama kemudian, si empunya sepatu keluar dari hutan dan bergegas mengambil sepatunya. Ketika memasukkan salah satu kakinya, ia merasakan ada benda yg mengganjal. Ia pun merogoh ke dalam sepatu. Ia nampak terkejut dan terheran karena ada uang dalam sepatunya. Ia memegang sambil menatap uang tersebut, lalu melihat ke sekeliling apakah ada orang di sekitarnya. Tapi, ia tidak melihat seorang pun disana. Lalu ia memasukkan uang tersebut ke kantongnya,sambil memasang sepatu lainnya. Tapi, lagi-lagi ia terkejut karena ada uang dalam sepatunya yang satu lagi. Perasaan haru menguasainya, ia jatuh tersungkur dan menengadah ke atas. Doa ucapan syukur terdengar jelas dari mulutnya. Ia berbicara mengenai istrinya yang sakit, serta anaknya yang kelaparan karena tak ada uang. Ia bersyukur atas kemurahan yg Tuhan berikan melalui orang yg ia tidak ketahui. Melihat hal itu, sang mahasiswa meneteskan airmata. Ia berpaling pada dosennya seraya berkata, "Kau telah memberiku pelajaran yang tak kan kulupakan. Kini aku mengerti bahwa lebih berbahagia memberi daripada menerima."



sumber: unknown

oleh Hidup Baru pada 12 Juli 2011 jam 10:32

Rawaseneng



Musim liburan bagi beberapa orang adalah musim berwisata. Selain wisata alam, wisata kuliner, atau wisata belanja, sekali-sekali cobalah berwisata rohani. Saya bagikan kembali pengalaman saya ketika berkunjung ke Pertapaan Trappist di Rawaseneng, tahun 2010 lalu.
====================================================================================

Awal tahun 2010 lalu saya dan kawan saya, Ch. Mulyani, jalan-jalan ke Pertapaan Santa Maria Rawaseneng. Perjalanan kami awali dari Ambarawa karena kami baru saja menghabiskan malam tahun baru di Goa Kerep Ambarawa. Dari terminal Ambarawa kami naik bus jurusan Semarang – Jogja. Di Secang kami turun, dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan bus yang lebih kecil lagi ke arah Maron. Ketika kami menyebutkan tujuan kami, pak Kondekturnya langsung menebak: “Mau ke Rawaseneng ya Mbak?”

Mungkin memang musim seperti ini banyak yang pergi ke sana.

“Ke tempat pastor-pastor itu kan Mbak?” kata pak Kondektur itu lagi ramah.

Sampai di pertigaan Maron, kami berhenti dulu dan mencari teh untuk menghangatkan perut kami. Kebetulan pula ibu pemilik warung itu menggoreng tempe gembus! Hwaduh! Sudah hampir seperempat abad sejak meninggalkan Jogja kami tidak pernah lagi merasakan tempe gembus! Jadilah kami seperti kesetanan melihat makanan tersebut!

Angkutan Pedesaan yang membawa kami berhenti di dusun Rawaseneng, yang merupakan perhentian terakhir. Dari situ kami masih harus berjalan kaki, namun tidak terlalu jauh, hanya sekitar 200 m. Sampai di pertapaan, kami disambut oleh Frater Blasius, OSCO yang selama ini berkomunikasi dengan kami mengenai Rawaseneng.

Kami ditunjukkan kamar yang luar biasa bersihnya. Kami sampai ternganga melihatnya. Perabotannya sungguh sederhana, terdiri dari dua buah dipan dengan kasur dan seprei putih. Satu buah meja kayu, dua buah kursi kayu, dan satu buah lemari yang juga terbuat dari kayu. Ketika saya mencoba mengangkat kursinya… mak! Bueratnya minta ampun! Lantainya juga lantai ubin, yang kesemuanya beserta dengan perabotannya mengingatkan saya pada rumah masa kecil saya…

Kamar itu memiliki satu jendela besar yang langsung menghadap ke arah kebun belakang. Jadi, begitu jendela dibuka, tampaklah rumput menghampar dengan jajaran bunga kemerahan di sela daun-daun hijau yang segar. Dari situ juga nampak sebuah pohon durian, pohon alpukat dan pohon mangga. Kedua pohon ini kelihatannya sedang berbuah walaupun masih belum masak…

Setelah selesai ternganga-nganga melihat kamar kami, kami segera mandi dan beres-beres, karena jam 10 misa awal tahun akan segera dimulai. Saya sudah tahu bahwa air di daerah pegunungan pasti dingin. Tapi, tahu ternyata tidak sama dengan merasakannya sendiri! Begitu merasakan guyuran air itu…. Brrrrr!!!!! Saya terkejut setengah mati! Dingiiiiiiiiinnnnnyaaa!!!!

Jam 10 tepat, misa awal tahun dimulai. Tanggal 1 Januari juga merupakan peringatan Santa Perawan Maria Bunda Allah. Misa dilangsungkan di Kapel Santa Maria yang bentuknya sangat unik. Tempat duduk umat dipisahkan dengan tempat duduk para rahib. Dan tempat duduk para rahib ini tidak menghadap ke altar, melainkan menghadap ke sisi kiri untuk lajur di sebelah kanan dan sebaliknya. Jadi, ketika berdoa, atau menyenandungkan kidung, para rahib ini saling berhadapan.

Mereka, para rahib itu, mendapat tempat satu kursi seorang. Uniknya, kursi mereka bisa dilipat, sehingga bila mereka berdiri, mereka melipat kursi mereka ke atas. Demikian juga, bila hendak duduk, mereka menurunkan kursi mereka untuk diduduki. Ketika hendak pulang, saya pernah mencoba menurunkan lipatan kursi ini untuk saya foto… dan ternyata beratnyaaaaa minta ampun! Saya bayangkan betapa kuatnya tangan-tangan para rahib itu karena dalam satu kali ibadat harus beberapa kali mengangkat dan menurunkan lipatan kursi!

Walaupun masih dalam suasana Natal, kapel kecil ini tidak ramai dihiasi dengan pernik-pernik Natal. Hanya ada gua Natal yang diletakkan persis di bawah altar. Jadi seolah-olah altar itulah guanya. Di situlah diletakkan patung Bunda Maria, Santo Yosef, dan tentu saja El Nino di tengah-tengahnya. Selebihnya hiasan kapel itu adalah rangkaian bunga hidup yang nampaknya dipetik dari kebun pertapaan.

Misa berlangsung dengan sederhana namun khidmat. Walaupun tanpa dirigen, lagu-lagu dinyanyikan bersama dengan padu, dengan iringan organ yang lembut. Sejuk rasanya telinga kami mendengarnya. Umatpun mengikuti misa dengan tekun dan sopan.
Tidak ada yang berbicara apalagi main hape! Rasa hormat umat terhadap Allah yang hadir dalam misa kentara sekali di misa hari itu di kapel kecil itu…

Setiap harinya, para rahib mengadakan enam kali ibadat dan satu kali Ekaristi. Untuk hari biasa ibadat akan dimulai pk. 3.30 dini hari dengan Ibadat Bacaan, dilanjutkan Ibadat Pagi pada pk. 6.00. Kemudian pada pukul 08.00 tepat diadakan Ibadat Siang I. Ibadat Siang II mulai pk. 12.00. Pukul 14.30 akan diadakan Ibadat Sore, dan selanjutnya pada pukul 17.30 diadakan Ekaristi. Hari itu akan ditutup dengan Ibadat Penutup pada pukul 19.45.

Untuk hari Minggu atau hari Raya seperti hari itu, biasanya akan diadakan misa pukul 10.00 dan Ibadat Siang I ditiadakan. Sorenya, pukul 17.30 biasanya diadakan Ibadat Sore dan dilanjutkan dengan adorasi.

Ketika masih di Pekanbaru, Frater Blasius, OCSO yang kami telepon mewanti-wanti betul supaya kami mengikuti semua ibadat tersebut. Tentu saja kami sangat bersedia mengikuti semua ibadatnya! Memang berat rasanya, masih enak-enak tidur, eh, sudah harus ibadat lagi. Tetapi sulit juga untuk dipungkiri,ternyata kami sangat menyukainya.
Pagi itu selesai misa, kami langsung menikmati snack pagi. Snack pagi itu berupa kue-kue kering buatan Pertapaan Santa Maria yang terkenal enak. Dan, ternyata benar, kue lidah kucing yang dihidangkan beda sekali rasanya! Kering, renyah, gurih… intinya: lezat!
Snack tersebut ditemani dengan tiga pilihan minuman hangat; kopi, teh, atau susu asli dari sapi-sapi yang dipelihara oleh pertapaan. Kopi pun kopi asli dari perkebunan pertapaan. Wah… sedapnya….!

Selanjutnya setiap pagi pukul 9 dan sore pukul 3 kami boleh menikmati snack. Snacknya berupa kue-kue sederhana yang enak rasanya, seperti unti, tahu goreng, tempe goreng, dan lain-lain yang semua disajikan hangat-hangat. Di tengah udara yang sangat dingin di Rawaseneng seperti itu, rasanya ingin sekali menghabiskan satu nampan tahu goreng…!

Sehabis menghabiskan snack pagi itu, kami sempatkan berjalan-jalan ke kandang sapi, sambil menunggu waktu Ibadat Siang.

Pertapaan ternyata memiliki banyak sekali sapi; jantan, betina, dan juga anak-anak sapi. Dan uniknya, untuk sapi-sapi betina, mereka diberi nama! Ada sapi bernama Theresia, atau Magdalena! Saya jadi geli sendiri. Keesokan harinya kami sempat nonton bagaimana sapi-sapi itu diperah susunya. Sapi-sapi di sana begitu besar. Mereka nampak kuat dan sehat. Apalagi sapi-sapi jantannya, nampak kekar dan sangar. Selain sapi perah, pertapaan juga memelihara babi. Saya tidak tahu, apakah para babi itu juga memiliki nama.

Sayangnya, hari itu kami tidak bisa memuaskan keinginan kami untuk berjalan-jalan berkeliling pertapaan. Menjelang sore, setelah Ibadat Sore, cuaca menjadi mendung, dan kabut tebal langsung menutupi kawasan pertapaan, dan kemudian hujan turun. Aduuuh… kecewanya…. Menurut salah seorang pengunjung, sejak minggu terakhir Desember, pertapaan selalu diliputi awan dan kemudian hujan.

Tentu saja, pemandangan alam pegunungan yang sejuk dan segar, lengkap dengan peternakan sapi dan kebun kopi, bukanlah satu-satunya daya tarik Pertapaan Rawaseneng. Yang kami cari, dan kami yakin sebagian besar orang yang datang ke situ cari, adalah keindahan ibadat-ibadat yang dilakukan oleh para rahib, yang selama dua hari itu coba kami ikuti. Sebenarnya sangat sulit menggambarkan setiap detik demi detik yang sangat berharga, ketika kami mulai memasuki kapel kecil yang sederhana namun anggun. Keheningan yang ditawarkan seperti guyuran air hujan di musim kering.

Satu-satunya kemewahan duniawi adalah musik organ yang dimainkan dengan lembuuuuut sekali, berpadu indah dengan suara empuk para rahib. Mazmur-mazmur semua dilagukan, dan dinyanyikan dengan nada-nada yang sangat sederhana. Namun, kesederhanaan itulah yang malahan membuatnya menjadi begitu indah.

Ibadat-ibadat ini sebelumnya selalu diawali dengan dentang lonceng. Bunyi lonceng ini begitu merdu terdengar, seolah-olah suaranya bergema, dipantulkan oleh bukit-bukit di sekeliling pertapaan. Bunyi lonceng panjang menandakan ibadat tinggal setengah jam lagi. Lonceng panjang ini juga sekalian panggilan untuk pulang, bagi para rahib yang sedang bekerja di luar pertapaan. Dan bunyi lonceng pendek menandakan ibadat akan dimulai sepuluh menit lagi. Bila dentang lonceng sudah berbunyi, maka satu persatu para rahib dengan tertibnya memasuki kapel, kemudian berlutut dan berdoa. Nyaris tak ada suara yang terdengar, kecuali derak lantai kayu bersentuhan dengan sandal-sandal karet para rahib…

Begitu jam di kapel tersebut berdenting, menunjukkan waktu sudah jam 3.30 atau jam 6.00 atau jam-jam ibadat lainnya, langsung saja organis akan memulai mengetuk tuts-tuts organnya. Bila tidak menggunakan organ pun (kelihatannya organ hanya digunakan pada hari besar – penulis), maka salah seorang rahib pasti akan langsung memulai ibadat.

“Ke dalam tanganMu, kuserahkan diriku, ya Tuhan penyelamatku…” Ini adalah larik pertama yang mengawali setiap ibadat.

Semua berlangsung tanpa komando yang menghebohkan. Keheningkan tetap terjaga sampai ibadat selesai. Ketika ibadat selesai, para rahib ini biasanya masih melanjutkan dengan meditasi pribadi, kemudian satu per satu dengan tenang dan tertib meninggalkan kapel.

Umat yang mengikuti misa ataupun ibadat pun jadi ikut-ikutan tertib. Tidak ada yang berani bersuara selama ibadat atau misa berlangsung. Saya sendiri sampai tidak berani menggambil gambar. Rasanya takut sekali merusak keindahan suasana yang begitu hening seperti itu. Selain juga rasanya sayang melewatkan sekian menit waktu ibadat dengan mengambil gambar…

Hari itu, hari Sabtu, diadakan ibadat-ibadat seperti biasanya. Namun, tidak seperti hari-hari yang lainnya, malamnya setelah Ibadat Malam diadakan adorasi. Pada saat adorasi, semua lampu kapel dimatikan. Monstran diletakkan di tengah di antara tiga pasang lilin yang disusun berjenjang, dari pendek ke panjang, sehingga menimbulkan silhouette yang indah. Adorasi dilagukan dalam bahasa Latin.

Salah satu yang sangat menyentuh buat saya, adalah ketika pada hari Sabtu malam itu, setelah Ibadat Penutup dan adorasi, para rahib keluar dari kapel dengan sebelumnya menerima percikan air suci. Ternyata, umat pun diperkenankan maju untuk menerima percikan air suci… Wah… sulit rasanya menggambarkan apa yang saya rasakan. Rasanya seolah-olah Tangan Tuhan sendiri tengah menyentuh saya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang… Rasanya damaiiiiii sekali…

Yang juga sangat menyenangkan di Rawaseneng adalah keakraban yang timbul bersama tamu-tamu lain yang datang. Sejak kami pertama datang, kami merasa sambutan sesama pengunjung luar biasa ramahnya! Bila berpapasan, tidak ada dagu yang terangkat tinggi atau muka yang berpaling dengan wajah dingin. Semua saling berhenti sejenak, memberi jalan, dan menanyakan kabar. Karena hari itu adalah suasana Natal dan Tahun Baru, maka ucapan “Selamat Natal dan Tahun Baru” ramai terdengar. Ini beda sekali dengan suasana bila kita menginap di hotel atau tempat penginapan lainnya.

Di sela-sela waktu makan, kami pun bertukar cerita. Pengunjung rata-rata berasal dari pulau Jawa, entah Jakarta, Jawa Barat, ataupun Jawa Timur. Pada saat itu, kamilah pengunjung terjauh, yakni dari Pekanbaru, Riau. Mereka pun datang dengan berbagai alasan, ada yang bersyukur untuk ulang tahun perkawinan, ada yang memang ingin memperkenalkan cara hidup sederhana pada anak-anak mereka, dan ada juga menjadikan kunjungan ke Rawaseneng ini kegiatan rutin, setiap Natal merayakannya di Rawaseneng.

Hari Minggu, tanggal 3 Januari 2010, kami harus mengakhiri “retret” kami di Rawaseneng. Sungguh dua hari yang sangat berharga, tidak hanya secara fisik saja, tetapi terlebih untuk bathin kami. Secara fisik, harus saya akui, saya yang biasanya susah makan, jadi sering krucuk-krucuk di situ. Padahal makanan yang disajikan “hanyalah” tumis-tumisan, seperti tumis pepaya muda, atau tumis kacang panjang dengan telur dadar, misalnya. Namun, porsi makan saya meningkat tiga kali lipat… hahahaha….

Secara rohani, tentu sulit saya mengukurnya, namun saya berharap, semoga Tangan Tuhan menyembuhkan kelemahan-kelemahan saya dan menuntun saya dan keluarga dalam menjalani kehidupan. Amin!

Kami berpamitan, pada teman-teman yang masih tinggal, dan juga pada Frater Blasius, OCSO. Dan, psst… kami malah dibawakan oleh-oleh berupa dua kaleng kue kering; kue coklat dan kestengels! Horeee!!!

Selamat tinggal Rawaseneng, semoga suatu saat bisa bertemu lagi! Berkah Dalem!

Pekanbaru, 4 Januari 2010 ,Agnes Bemoe & Ch. Mulyani


oleh Hidup Baru pada 18 Juli 2011 jam 9:45


[WISATA ROHANI] Gedono - Cerita Sekeping Surga



Dengan naik bus umum, kami meninggalkan Ambarawa menuju Salatiga. Jarak tempuhnya sebetulnya tidak terlalu jauh, tetapi karena bus lama berhenti untuk mencari penumpang, maka perjalanan jadi bertambah sekitar 1 jam. Sampai di Terminal Tingkir Salatiga, kami melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke arah Boyolali/Solo, sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Suster Martina, OCSO kepada kami.

Jalan kaki dengan memanggul ransel ternyata cukup membuat kami ngos-ngosan.
Kami berharap cepat menemukan papan penunjuk ke arah Gedono.
Syukurlah, setelah beberapa saat akhirnya kami temukan juga pertigaan ke arah Gedono. Sebuah plang kecil bertuliskan “GEDONO” membuat kami yang sudah kelelahan jadi bersemangat lagi. Lalu, dengan naik ojek, kami melanjutkan perjalanan ke Gedono. Untung Suster Martina sudah melengkapi kami dengan informasi, termasuk ongkos ojek. Namun demikian, nampaknya Bapak Tukang Ojek itu sama sekali tidak berniat “menodong” kami. Jadinya, tidak ada tawar-menawar yang rumit.


Dari pertigaan itu, kami masih harus menempuh perjalanan kurang lebih 7 km lagi. Lumayan juga. Tapi, sama sekali tidak rugi, karena ternyata pemandangan di sisi-sisi jalan sangat menarik. Hijau di mana-mana. Rumah-rumah yang jarang-jarang dengan bentuknya yang masih asli (khas rumah Jawa). Kami menikmati pemandangan pedesaan di sepanjang jalan kecil beraspal hitam itu.

Dan, akhirnya, setelah melewati jalan kecil panjang yang menanjak itu, kami sampai juga di pertapaan Santa Maria Bunda Pemersatu, Gedono. Udara yang segar cenderung dingin menghilangkan kelelahan kami. Malahan, kami jadi lapar…

Sr. Martina OCSO menyambut kami dengan ramahnya. Beliau segera menunjukkan kamar kami berserta kelengkapannya (kamar mandi, kamar cuci). Mata saya langsung terperangkap pada arsitektur Gedono yang unik. Dindingnya semua menggunakan batu gunung asli, yang disusun sedemikian rupa. Di beberapa bagian direkatkan dengan semen. Dinding batu tebal ini dipadu dengan jendela kayu berbentuk kubah, mirip dalam gambar-gambar di cerita kurcaci jaman saya kecil. Perpaduan batu gunung, kayu coklat, dan kusen warna putih sungguh sangat cantik kelihatannya. Ditambah lagi dengan lubang angin yang dibuat berbentuk lingkaran, kubus, persegi panjang, dan disusun dengan artistik di dinding, benar-benar membuat tembok itu menjadi seperti sebuah karya seni.

Belum sempat saya menikmati indahnya bangunan Gedono, Sr. Martina sudah menyuruh kami untuk minum air hangat dan menikmati snack. Tawaran yang tentu saja langsung kami iyakan… Dan, segelas air teh di pagi itu sungguh menjadi surga bagi perut kami yang sudah keroncongan dari tadi. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 10.30an.

IBADAT
Selanjutnya, kami memulai kegiatan di Gedono dengan mengikuti Ibadat Tengah Hari (Sexta). Begitu mendengarkan para suster itu menyanyikan serangkaian mazmur sebagai doa, hati saya langsung luruh. Suara mereka begitu bening dan halus seperti suara gemerincing kristal atau dentingan harpa. Kebanyakan para suster ini berdoa dengan diiringi zithera (mirip harpa). Perpaduan antara zithera dan lantunan suara para suster ini sungguh sulit diungkapkan dengan kata-kata. Heavenly! Lebih seperti mendengar kemericik air, atau gesekan bambu, atau siulan burung. Nada-nada yang terpadu itu begitu indah dan lembut. Wah, saya begitu terpana… Yang saya suka adalah harmonisasi antara alat musik pengiring dengan lantunan suara para suster. Tidak ada yang saling mendominasi. Bunyi zithera yang lamat-lamat malah membuat indah paduan lantunan doa itu. Memang saya ke sana untuk berdoa (dan bukannya jadi pengamat musik gereja dadakan!), tapi, harus saya akui, bahwa musik dan lantunan suara yang harmonis sungguh sangat membantu saya membangun suasana doa. Ketika pulang, saya membeli beberapa CD lagu-lagu Senandung Gedono. Tapi, ternyata mendengarkan CD jauh berbeda dengan mendengarkan aslinya!

Dalam sehari para suster di Pertapaan Santa Maria Bunda Penebus Gedono ini melakukan enam kali ibadat ditambah satu kali misa. Dini hari pada pukul 3.15 ketika malam masih begitu pekat, ditambah lagi dengan kabut dan dingin yang menusuk tulang, para suster di biara ini sudah mengadakan Ibadat Malam. Ibadat ini dilanjutkan dengan doa/meditasi selama 30 menit. Pada saat Ibadat Malam ini penerangan digunakan secara minim. Pada beberapa bagiannya, lampu bahkan dipadamkan. Yang disisakan hanyalah lampu di bagian pengunjung (kami). Terlebih pada saat doa/mediasi, tidak ada satu lampu pun tersisa, kecuali lampu merah di Sakristi, dan lampu yang dengan lembut menyorot patung Bunda Maria di sudut kapel.

Bicara tentang patung Bunda Maria ini, saya pada mulanya tidak sadar, bahwa yang sedang disorot itu adalah patung Bunda Maria. Patung itu sejak awal tidak langsung menarik perhatian saya. Setelah satu hari di sana baru sel-sel kelabu dalam kepala saya bekerja. Saya mengamati dengan seksama patung berwarna kecoklatan yang sedang disorot lampu itu. Tidak hanya itu saja, umat yang pun memiringkan tubuhkan supaya secara khusus menghadap pada patung itu. Barulah kilat menyambar otak saya: itu adalah patung Bunda Maria! Bunda Maria mengenakan jarik, kebaya, dan bersanggul konde a la ibu-ibu dari Jawa. Di tangan kanannya Beliau menggendong Bayi Yesus dengan menggunakan selendang jarik, sedangkan tangan kanannya terulur kepada umat, seakan berkata: “Sini, Nak…”.

Saya sangat menyesali kebutaan saya terhadap Bunda Maria dalam visi Jawa ini! Namun, di lain pihak, patung itu benar-benar unik. Warna coklatnya sangat alami. Bunda Maria juga digambarkan begitu sederhana, seperti ibu-ibu di pasar Beringharjo. Saya pernah melihat Bunda Maria dalam visi Bali di sebuah gereja di Denpasar. Saya ingat saya langsung mengenali bahwa itu Bunda Maria yang digambarkan dengan pernak-pernik khas Bali. Herannya, kok otak saya bisa begitu tumpul ketika berhadapan dengan Dewi Maria ini.

Selanjutnya, pada pukul 6 pagi diadakan misa, yang diintegrasikan dengan Ibadat Pagi. Karena jarak antara selesainya Ibadat Malam dengan Misa tidak terlalu jauh (kurang lebih 1 – 1,5 jam) maka saya tidak mau tidur lagi (takut malah ketiduran). Saya gunakan untuk jalan-jalan di sekitar pertapaan. Melihat langit yang berubah pelan-pelan dari pekat, menjadi agak terang, agak terang, agak terang, dan kemudian benar-benar terang merupakan pengalaman yang menakjubkan buat saya. (Sebetulnya, tidak bisa dibilang benar-benar terang. Kabut tebal kadang menyulitkan sinar matahari untuk menerobos masuk).

Tepat pukul 8 pagi diadakan Ibadat Tertia. Ibadat selanjutnya adalah Ibadat Tengah Hari (Sexta) pada pukul 11, yang lalu dilanjutkan dengan Makan Siang. Berikutnya pada pukul 13.10 diadakan Ibadat Siang (Nona).

Ibadat Sore dilaksanakan pada pukul 16.45. Pada saat Ibadat Sore sekaligus juga dilakukan Pentahtahan Sakramen Maha Kudus (Adorasi). Setelah itu disambung dengan doa pribadi/meditasi selama 30 menit.

Ibadat terakhir pada hari itu adalah Ibadat Penutup pada pukul 18.55.
Lagu-lagu yang dinyanyikan tidak semuanya berbahasa Indonesia. Terkadang dinyanyikan juga lagu-lagu Gregorian (Te Deum, Salve Regina, atau lagu lagu-lagu Ordinarium lain). Yang menarik adalah, para suster juga menggunakan lagu-lagu yang digunakan oleh Gereja Katolik Ritus Timur. Pada saat Ibadat Penutup digunakan Ibadat Penutup Byzantium; lagu-lagunya terdengar familiar, namun tetap “eksotis”. Buat saya, tidak saja saya bisa berdoa, namun juga telinga saya serasa termanja dengan alunan musik dan lagu-lagu yang lembut, merdu, dan syahdu, yang dinyanyikan para suster dalam setiap ibadatnya.

MALAM PERGANTIAN TAHUN
Kami berada di Gedono tepat ketika saat pergantian tahun 2010 ke 2011.
Hari itu di pertapaan sendiri tidak tampak hal-hal yang lain dari biasanya. Seolah-olah para suster tidak sadar bahwa tahun sudah berganti.
Hari masih sore ketika kabut tebal sudah turun di sekitar pertapaan. Kabut tak juga menipis, sampai kami mengadakan Ibadat Penutup. Satu-satunya yang menandai adanya suatu “peristiwa besar” pada malam itu adalah digunakannya Ibadat Penutup Byzantium, yang merupakan kekhasan dari Pertapaan Bunda Maria Pemersatu Gedono.

Setelah ibadat Penutup, Sr. Martina berinisiatif untuk mengajak para tamu (yang sudah tinggal 7 orang) untuk mengadakan ibadat kecil di depan gua Natal, di muka pintu utama pertapaan. Ibadat itu sederhana sekali. Kami menyanyikan satu-dua lagu Natal, kemudian berdoa dan saling mendoakan. Besok kami masing-masing sudah tidak bisa saling bertemu satu sama lain.
Setelah itu, semua berlangsung seperti biasa. Kabut tetap turun, kami kembali ke kamar masing-masing. Berangkat malam dari kejauhan terdengar berbagai bunyi-bunyian menyambut pergantian tahun; mulai dari petasan, sampai dangdutan dan wayangan.

Saya sendiri bangun, tepat pada pukul 12 malam itu. Saya mencoba keluar, tujuan saya ke kapel, tetapi pintu kapel ternyata terkunci. Ya sudah, saya kembali ke kamar. Namun, sempat saya lirik langit hitam di atas kepala saya. Kabut sudah menipis, bintang kelihatan satu dua di antara bayang-bayang pohon. Bulan sama sekali menghilang. Malam itu sama sekali tidak meriah, apalagi spektakuler.
Namun, sadar bahwa masih diberi kesempatan melihat hari dan tahun baru membuat saya tidak memperdulikan betapa tidak meriahnya malam tahun baru saya.
Apalagi, bila saya mengingat betapa penyertaan selama tahun 2010 khususnya, tidak bisa tidak saya mensyukuri langit hitam dan bintang satu dua yang jadi pemandangan malam tahun baru saya…

SAYA DAN MAKANAN
Bila memang tujuannya bukan untuk berdoa, mungkin Gedono menjadi tempat yang kurang menarik. Karena selain bentuk bangunannya, nyaris tidak ada lagi yang bisa “dinikmati” di sana. Para tamu juga tidak diperbolehkan melihat-lihat kebun dan peternakan sapi milik para suster. Sehingga, waktu kosong nyaris terasa banyak. Saya pernah mencoba membujuk bapak yang menjaga gerbang ke arah kebun suster, untuk mengizinkan saya masuk. Bapak itu berkata dengan lugu: “Jangan, Mbak, ndak boleh masuk. Saya juga ndak boleh…” . Ya sudah… Memang kelihatannya Tuhan lagi menyuruh saya untuk serius berdoa, dan bukannya blusukan ke mana-mana… Saya sendiri akhirnya mengisi waktu dengan mengetik di Blackberry saya.

Sekali, pada suatu pagi, saya menggunakan waktu untuk berdoa Jalan Salib sendirian di pelataran bawah, di mana disediakan jalur khusus untuk Jalan Salib.
Walaupun tidak hapal peristiwa-peristiwa dalam Jalan Salib, saya nekat saja. Saya merenung saja di depan Salib yang bertempel gambar peristiwa, sambil merasakan udara dingin yang menampar pipi dan buku tangan saya… Kalau saya menuliskan “kicauan burung”, “gemerisik daun”, mungkin terasa klise. Namun, pagi itu memang indah sekali berdoa sambil mendengarkan kicauan burung yang bersaut-sautan dari satu pohon ke pohon lain. Mendengar gemerisik daun ditiup angin, sambil merasakan keras dan dinginnya batu-batu gunung di telapak kaki saya. O ya, sekeliling pertapaan nampaknya ditanami dengan pohon cengkeh. Indahnya pohon cengkeh ini adalah daunnya yang masih muda berwarna jingga cenderung semburat merah.
Jadi, bisa anda bayangkan, paduan nuansa hijau, jingga, dan kemerahan di sekeliling anda… Sungguh luar biasa!

Makanan menjadi tantangan tersendiri. Udara dingin membuat saya cepat lapar. Biasanya kalau di rumah, asal lapar, saya mencari makanan. Dan biasanya makanan yang masuk adalah makanan yang gurih lezat, seperti kentang goreng, camilan, mie instant, dll. Di Gedono tentu saja saya tidak bisa makan sesuka-suka saya. Padahal, perut saya sepertinya lapar setiap saat… Alhasil, jam makan menjadi saat yang paling ditunggu-tunggu! Masakan suster pada umumnya sederhana, tapi segar! Begitu merasakan masakan suster, saya langsung tahu bahwa suster sama sekali tidak menggunakan MSG atau “kaldu ayam” (bahan masakan yang jadi kesukaan saya).
Tidak hanya itu saja, jumlah garam yang digunakan suster pasti jauh di bawah takaran saya di rumah. Sekali lagi, saya adalah tipe orang penyuka garam dan bumbu masak. Makanya, lidah saya tersiksa, karena terbiasa termanja dengan berbagai makanan gurih! Tidak hanya lidah saja, tapi keinginan untuk makan sebanyak-banyaknya pun jadi tersendat, karena lidah agak macet mengolah makanan! Hahaha…. Alhasil, perut lapar berat, tapi, lidah masih mencoba bernegosiasi dengan rasa.

Namun, saya langsung merasakan manfaatnya: sampai hampir dua minggu setelahnya saya bebas dari migren yang biasanya jadi tamu harian saya! Saya percaya, pengurangan MSG dan garam membantu mengusir migren saya yang suka membandel. Sekarang saya tidak mau lagi menggunakan “kaldu ayam”, dan mengurangi jumlah garam dalam masakan. Aduh, suster, terima kasih! Bukan hanya hati saya yang sejuk dan adem, kepala saya yang suka migren juga terasa lebih lega, leher saya tidak kaku dan kemeng-kemeng. Saya tak menyangka mendapat bonus sehat dari kunjungan ke Gedono… hehehe…

Di Gedono juga saya memberanikan diri mencoba makanan yang tidak saya sukai: yogurt! Saya heran, karena banyak orang datang ke Gedono, hanya khusus untuk membeli yogurt. Bahkan saya sempat ketemu seorang gadis dari Jakarta yang sedang jalan-jalan ke Salatiga. Dia sampai rela menunggu waktu buka toko, untuk membeli yogurt Gedono.
Saya pun jadi tertarik, padahal saya tidak suka susu dan produk-produk olahannya. Sambil menutup hidung, saya mencoba yang botol kecil, yang rasa sirsak. Hweeeehh!!! Saya tidak tahu enaknya di mana. Tapi, yang jelas, memang saya merasa perut saya agak “enteng” setelah itu…
Yang paling saya suka dari Gedono adalah selainya. Wah, kalau yang ini benar-benar top markotop! Rasa manisnya tidak tajam, juga tidak ada bau-bauan bahan pembuat makanan. Teksturnya pun lembut, dengan rasa “printil-printil” yang membuat sensasi tersendiri…

AKHIRNYA, HARUS PULANG
Hari itu, tanggal 1 Januari 2011, selesai ibadat pagi dan kemudian sarapan, kami pulang. Walaupun rasanya berat meninggalkan suasana yang begitu tenang dan damai di Gedono, tapi, tidak bisa tidak, kami harus pulang. Kami tidak lagi pamit pada Sr. Martina, karena beliau sedang ada kegiatan. Namun, kemarinnya kami sudah berpamitan.

Kami menggunakan ojek yang kami pakai ketika datang.
Suster Martina sudah mengingatkan bahwa tidak ada kendaraan umum lain selain ojek, sehingga harus memesan ojek sebelumnya. Untung bapak tukang ojek kami juga berinisiatif, ketika mengantar kami waktu kami datang, bapak itu sudah menawarkan untuk mengantar pulang.

Naik ojek, kami menyusuri jalan aspal sempit, menuju ke kota Salatiga. Angin dingin mengantar kami pergi meninggalkan lereng yang dipenuhi pohon cengkeh. Di pinggir jalan kami masih melihat seorang ibu sedang memecah batu-batu gunung menjadi bongkahan lebih kecil. Agak berapa lama baru kami berjumpa dengan perkampungan penduduk. Ahai, iri juga melihat mereka bisa setiap hari menikmati udara bersih, jauh dari polusi, jauh dari macet, jauh dari orang yang ugal-ugalan dan saling maki di tengah jalan…

Di Terminal Tingkir, kami melanjutkan perjalanan ke Semarang, meninggalkan sekeping surga di belakang kami.

Pekanbaru, 10 Januari 2011, Agnes Bemoe & Ch. Mulyani

Mencari Suaramu,Honey

Percik Bijak Tentang Perkawinan.......

Saya pernah mengutarakan bahwa saya selalu berusaha “menangkap” suatu makna dari peristiwa baik dari pengalamanku sendiri maupun orang lain. Memang itulah salah satu kemuarahan Allah menganugerahkan kita pesan bijak lewat kisah kasih hidup. Hanya memang kita kadang kura peka.

Setelah pulang dari kampus tadi saya mampir di restoran sederhana untuk makan siang. Asyik menunggu pesanan, saya melihat pasangan suami isteri bersama anak laki-kali mereka sekitar 4 tahun sedang berjalan masuk restoran yang sama. Saya yakin dari wajah yang rada mendung berhiaskan cemberut, mereka itu sedang perang dingin alias tidak cakapan. Barangkali masalah mereka sudah masuk dalam taraf tingkat tinggi. Sikap saat masuk restoran pun mereka seperti tidak saling mengenal. Duluan isteri bersama anak mereka dan beberapa saat kemudian suaminya menyusul. Diam dan bungkam seribu bahasa pun terutama sang isteri terjadi saat keryawan membawa daftar menu. Suami masih mau mengeluarkan “suara” emasnya saat karyawan itu bertanya.

Kemudian saya berpikir apakah nanti mereka ini juga BBM (bayar masing-masing). Kalau itu jadi berarti mereka ini sudah butuh seorang romo ahli untuk mendamaikan. Saya kagum dan salut dengan kepekaan sang anak itu yang “pintar” mencairkan kebekuan suasana orang tuanya itu. Ia asyik bicara, sibuk bertanya. Saya tidak tahu apakah ia mengerti masalah orang tuanya, tetapi yang jelas ia berhasil membuat orang tua bicara lewat pertanyaan yang ia lontarkan secara bergiliran kepada ayahnya dan kemudian ibunya. Dan yang membuat suasana makin akrab saat mereka “kecelakaan” tidak sengaja serempak menjawab pertanyaan anak mereka. Mereka tersenyum sendiri dan saya pun hampir tidak bisa menahan ketawa.

Kejadian “menarik” lain terjadi waktu makan. Si anak itu meminta tolong ibunya untuk memisahkan daging ayam itu dari tulang-tulangnya. Barangkali karena kurang hati-hati, tulang ayam itu terlempar ke piring suaminya. Saya cemas barangkali akan terjadi “perang” karena hal itu sudah melewati perbatasan. Rupanya apa yang terjadi? Suaminya malah senyum dan menyisihkan tulang ayam itu. Sejak itu, suasana pun makin cair berkat “kelihaian dan kepintaran” anak mereka. Dan terakhir, isterilah yang membayar biaya makanan itu.

Saudara-I terkasih beberapa poin “indah” yang saya perlu bagi dari kisah ini ialah kendati mereka dalam situasi perang dingin, atau marah tingkat tinggi, namun mereka masih berusaha menjaga kebersamaan demi anak mereka. Hal bijak lain ialah barangkali mereka berprinsip tidak boleh perang kalau anak sedang bersama mereka karena ini menjadi “pendidikan” yang buruk untuknya kelak.

Mampukah keluargamu tetap bertahan dalam goyangan ombak dan hempasan badai hidup. Masih kamu tetap mecoba berjuang dan membuat yang terbaik demi keutuhan keluarga dan masa depan anak-anakmu? Saya yakin kamu mampu. Saya yakin kamu masih berniat luhur membawa bahtera itu sampai ke tujuannya. Saya optimis kamu (suami-isteri) tetap masih punya iman, harap dan kasih (cinta)

Ilustrasi singkat. Pasangan suami isteri sudah lama tidak cakapan karena masalah yang terjadi di antara mereka. Pokoknya mereka perang dingin sementara gencatan senjata masih lama. Karena tidak tahan berdiam dalam kebisuan, sang suami membuat suatu trik bagaimana memancing isterinya ngomong. Maka di siang bolong ia menyalakan senter dan pura-pura mencari sesuatu. Isterinya heran dan campur bingung, “Kog pake lampu senter di siang-siang bolong” Maka ia pun memberanikan diri dan membuang rasa malu, bertanya, “Sedang mencari apa, kog pake lampu senter segala di siang bolong begini? Suaminya menjawab, “MENCARI SUARAMU HONEY. Setelah itu aman sentosa. (di tulis : IVO)

oleh Hidup Baru pada 22 Agustus 2011 jam 10:43