Selasa,  16 Agustus 2011, saya mengawali patroli pertama yang sempat tertunda  sepekan karena mesin dinghy yang rusak. Hari ini saya pergi bersama Sr.  Beata DW, Sr. Imelda MSC dan Sr. Maryline MSC. Kedua suster yang  terakhir akan mengadakan pembinaan untuk guru-guru sekolah dasar di  kampung pertama tempat patroli kami, yaitu Joot. Dari kampung ini saya  dan Sr. Beata bersama dengan satu pastoral agent yang akan menyusul  kemudian meneruskan patroli ke delapan kampung yang lain. Tulisan ini  saya berikan sebagai panorama singkat perjalanan saya selama 20 hari  patroli menyusuri Fly River, menjumpai umat dan melayani mereka dalam  aneka kebutuhan dan kesulitan yang mereka hadapi di sana.
Deru  mesin Yamaha 40 PK memecah keheningan sungai. Ia membawa kami  meninggalkan Kiunga, menyajikan pemandangan kiri-kanan yang mengering  gersang, membelah air yang terkontaminasi limbah dan seolah-olah  mengajak saya untuk berkenalan pada dunia baru: inilah parokimu. Hanya  satu yang indah. Hanya satu yang bagus untuk dipandang mata: yakni  cakrawala Papua New Guinea yang membentang cerah, kilau kemilau bak  cahaya yang memancar dari surga. Aku suka memandangnya. Ia mampu  menghibur kegalauan hatiku karena melihat alam yang rusak karena  kerakusan para pendatang di bumi kasuwari ini. Setelah hampir dua jam di  atas dinghy, kami sampai di kampung Katawim untuk menjemput dua guru  yang akan ikut training. Ini kampung pengungsi dari Papua Barat yang  terbesar di sepanjang border. Selanjutnya kami ke kampung Erecta,  kampung lokal yang masuk lewat anak sungai Fly, tapi tak ada guru di  sini. Maka kami kembali melanjutkan perjalanan dan tiba di kampung Joot  jam dua siang. Di sini umat sudah berjejer menunggu di pinggir sungai.
Joot
Sore  itu angin bertiup kencang. Segar rasanya. Aku tengah membuka kelapa  muda pemberian umat juga. Tiba-tiba raungan klakson kapal dari sungai  membuat semua penghuni kampung berlarian ke pantai. Ibu-ibu lari dengan  menggendong anak-anaknya. Bapak-bapak berteriak dengan bahasa yang tak  kuketahui  artinya. Ada pula para pemuda yang cepat-cepat memanjat  pinang dan kelapa. Aku kira ada apa sampai mereka begitu? Rupanya  klakson kapal itu adalah pertanda bahwa mereka datang untuk transaksi  barter barang. Orang kampung membawa pinang dan kelapa untuk ditukar  dengan sembako dari kapal barang. Sebuah transaksi jual-beli alami  terjadi antara mereka yang saling membutuhkan. Umat di kampung ini hidup  dari alam. Untuk kebutuhan lain mereka hanya bisa berharap dari kapal  yang melintas di sungai. Terlalu mahal dan jauh untuk datang dan belanja  di kota Kiunga. Mereka adalah para pengungsi dari Papua Barat juga.  Mereka lari dan ‘benci’ dengan pemerintah Indonesia yang memperlakukan  mereka semena-mena. Meski mereka tidak juga bisa hidup layak di kampung  pengungsian, tapi mereka merasa bebas dari penindasan. Hari ini tepat  tanggal 17 agustus untuk memperingati kemerdakaan Indonesia. Dalam hati,  aku meminta maaf kepada negeriku. “Maaf, Indonesia, aku tidak bisa  merayakan hari jadimu sementara aku berada di tengah umat yang sakit  hati kepadamu.” Aku hanya berdoa dalam hati saja sebab tak mungkin  menyebutnya dalam perayaan Ekaristi sore hari ini. Mereka menerimaku  dengan ramah sebagai pastor, sebagai orang kalimantan dan bukan sebagai  orang Indonesia apalagi orang jawa. Sebab mereka membenci tentara yang  mereka tahu kebanyakan orang jawa.
Kuiu
Dinghy belum  merapat ke pantai. Namun umat, ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak sudah  berdiri di sana. Mereka menyambut kami dengan ramah. Semua barang  segera terangkat di atas bahu-bahu yang kurus dan wajah yang  kumus-kumus. Tentu bukan kurus dan kumus yang menjadi fokus. Melainkan  semangat mereka yang luar biasa membawa apa saja yang mereka bisa.  Mereka kurus dan kumus karena jadi korban. Mereka menjadi korban bencana  banjir, korban politik dan korban ekonomi juga. Mereka mengungsi dari  Papua Barat akibat kekerasan TNI yang menyerang kampung mereka. Mereka  hanya bertahan di tanah rendah di pinggir Fly River. Setiap kali banjir  akibat penambangan emas OK Tedi, mereka kehilangan segalanya.  Rumah-rumah rusak. Ternak hanyut. Kebun hancur. Kolam dan sumur kotor.  Bahkan sagu di rawa-rawa jadi layu dan mati begitu saja. Pasca banjir  mereka selalu mulai lagi dari nol. Maka kedatangan kami jadi seperti  penghibur bagi duka mereka. Dengan mereka kami duduk dan ngobrol  bersama, masak dan makan bersama. Pada malam hari kami memutar DVD film  Musa untuk mereka. Umat sekampung yang jumlahnya ratusan fokus pada  layar TV kecil dan buram. Mereka semangat sekali menonton sementara  nyamuk-nyamuk malam menggigit dan menaburkan benih malaria di dalam  tubuh mereka. Itulah hiburan mereka. Tak jauh dari tempat itu, aku  sendiri asyik mendengarkan cerita bapak tua eks tentara OPM di beranda  rumahnya.
Mapruam
Satu kampung  kecil di pinggir Sungai Fly yang dihuni sekitar 20 KK. Nasibnya sama  dengan Kuiu. Kemarau membawa bencana dan musim hujan tak ada bedanya.  Untuk mencari air minum harus masuk hutan sejam lamanya. Waktu patrol  ini memang di musim kemarau. Umat hanya mengharapkan air dari tandon  besar milik gereja, karena sungai Fly tercemar logam berat luar biasa.  Kedatangan kami malah membuat mereka bingung memikirkan di mana tempat  mandi. Tapi tidak dengan diriku. Aku menanyakan tempat di mana mereka  biasa mandi. Lalu mereka menunjukkan sumur kecil. Dan rupanya itu bukan  sumur, tapi lebih mirip kubangan di rawa yang masih tergenang air. 
Any way, no choice. That’s their life and I should be like them.  Aku mandi di situ dengan dua kali kerja: mengumpulkan air itu di ember  lalu menyiramnya ke tubuhku pula. Mereka tak terbiasa membuat sumur.  Tepatnya bukan tak biasa, tapi soal pemahaman, pengetahuan dan  pendidikan. Anak-anak di sini tidak belajar, karena memang tidak ada  guru dan sekolah. Meski begitu mereka penuh semangat. Selama dua kali  misa mereka menyiapkan perayaan liturgi dengan baik. Aku terharu karena  mereka bernyanyi penuh semangat dengan madah bakti lama yang sudah tidak  ada bentuknya. Satu buku untuk empat orang. Mereka memuji Tuhan dalam  keterbatasan dan kesederhanaan yang tak sedikitpun mempengaruhi semangat  dan iman mereka. Sungguh luar biasa kuasa Tuhan dalam hidup mereka.
Memeyop
Sore  itu Telaga Bandika menunjukkan pesonanya. Dia menyambut kedatangan kami  dengan daya pikatnya. Dinghy berjalan tenang, karena aku meminta  skipper melakukannya. Air terus mengering. Ikan gastor berloncatan di  kiri-kanan perahu kami. Aku tanya, apa itu gastor? Rupanya gabus toraja.  Ah, yang benar saja, kataku. Di seluruh wilayah di Indonesia ikan jenis  itu namanya gabus semua. Beberapa kali kura-kura muncul ke permukaan.  Kata skipper, dia sedang mengambil udara segar. Ada-ada saja, pikirku  dalam hati. Perahu kami merapat ke kampung di pinggir danau. Umat  menyambut kami dengan gembira. Acara resmi di kampung ini sama dengan di  kampung yang lain, yakni misa, kunjungan umat, sosialisasi lembar  evaluasi dari keuskupan lalu mendengarkan aneka masukan dan kebutuhan  mereka. Yang beda adalah alam dan keceriaan anak-anak mereka. Kampung  dibangun di atas ketinggian menghadap ke danau. Setiap saat udara segar  menghadirkan kenyamanan dan kesejukan. Aku betah sekali menikmati  indahnya danau seraya sekali-sekali bermain dengan anak-anak. Suatu sore  dua anak mengajak saya memanah ikan di kali pinggir danau. Baru  setengah jam di sana sudah dapat beberapa ekor lele dan mujaer.  Keasyikan kami diganggu dengan datangnya segerombolan anak perempuan.  Mereka ingin bergabung juga. Yang satu mengusir mereka karena mereka  berdua telanjang. Tapi karena ada aku, anak-anak perempuan itu tetap  mendekat. Itu memaksa mereka mengenakan celananya. Mereka asyik  menikmati mangga hutan mentah yang ada di pinggir kali. Aku coba sedikit  saja, karena kecut sekali rasanya. Lalu kami pulang sambil berlarian  dan kejar-kejaran di rawa. Tingginya tumbuhan perdu membuat kami  berloncatan seperti kijang yang menikmati kebebasannya.
Kukuzaba
Ini  kampung lokal yang unik. Nama lainnya Gimbagayib yang berarti kepala  ikan busuk. Karena nama itu jelek, lalu diganti dengan Kukuzaba.  Artinya? Tidak ada yang tahu. Lucu, bukan? Kukuzaba, satu kampung dengan  lima bahasa: Motu, Pidgin, Inggris, Marin dan Malay. Yang terakhir itu  sama aja dengan melayu atau bahasa Indonesia. Menurutku bukan melayu  atau bahasa Indonesia, tapi Broken Malay. Semua bahasa itu bisa dipakai  di sini. Sebagian besar penduduk adalah petani karet. Tapi tidak seperti  di Indonesia atau Malaysia. Mereka di sini hanya menyadap karet bila  mereka butuh uang cepat saja. Sehari-hari mereka lebih banyak di rumah.  Meskipun begitu, Gereja di kampung ini memprihatinkan. Bukan  bangunannya, tapi semangat umatnya. Kedatangan kami hanya diterima  beberapa ibu dan anak-anak. Sedang para pemuda hanya duduk-duduk di  bawah pohon saja. Saking jengkelnya, sambil memikul barang dan lewat di  samping mereka, aku bertanya langsung: “Are you all Catholic?” Dan  ketika mereka menjawab ‘ya’, aku minta mereka membantu anak-anak dan  ibu-ibu mengangkat barang juga. Perayaan Ekaristi selama dua hari hanya  dihadiri beberapa orang saja. Pemimpin umat menanyakan pada saya, apakah  kita tetap misa atau batal saja? Saya berkata, sebagai imam saya misa  tiap hari. Jadi, ada umat atau tidak, saya tetap akan misa. Mendengar  itu dia segera mengajak beberapa orang yg sudah ada di sekitar gereja  untuk masuk dan kami tetap misa. Pengalaman ini mengingatkan saya pada  nasihat rohani Santo Vinsensius: 
“Meski di tempat itu hanya ada satu jiwa untuk diselamatkan, misi harus tetap dikerjakan.”  
Membok
Satu  lagi kampung lokal yang menyedihkan secara rohani. Gereja merana dan  sekolahnya juga. Umatnya banyak sekali. Hampir semuanya Katolik.  Anehnya, ketua dengan kampung dan aneka kepengurusan dipegang oleh orang  yang beragama Kristen, United Church. Awalnya ketika menuju kampung ini  aku senang sekali. Air sungai Bingge tenang dan bersih. Ikannya juga  banyak. Burung-burung besar mencari ikan di pinggir sungai. Aku berburu  dengan senapan angin milik skiper, tapi tidak ada hasil. Mengapa?  Pertama, karena memang tidak bisa menembak. Kedua, peluru senapan angin  mana mungkin bisa mematikan burung yang besarnya dua kali ayam jantan.  Kalaupun kena, paling-paling hanya membuat tubuhnya gatal saja. Kembali  ke cerita kampung membok. Dalam pertemuan dengan semua pemuka umat, para  pria banyak sekali bicara. Usul, saran dan kritikan macam-macam. Mereka  bercerita banyak soal misi masa lalu dan pentingnya membuat paroki baru  di kampung ini. Tapi, mereka sendiri tidak pernah terlibat dan ikut  ibadat pada hari Minggu. Kedatangan kamipun tidak awalnya tidak mereka  ketahui. Padahal jadwal sudah diedarkan jauh-jauh hari. Rupanya, yang  banyak bicara itu adalah guru. Primary School milik misi Katolik di sini  sepertinya tidak memberi kontribusi bagi Gereja. Mereka tidak terlibat  dalam aktivitas Gereja. Kalau musim kemarau, para murid disuruh pulang  ke kampung-kampung mereka, karena tidak ada air. Kepada anak asrama saya  bertanya, kenapa kalian tidak membuat sumur? Mereka menjawab, kami ada  sumur, pastor, tapi airnya habis. Tanya saya lagi, berapa meter  dalamnya? Mereka menjawab dengan mengukur lengannya, segini, pastor.  Pikirku, pantas saja. Sumur, koq dalamnya cuma sedalam lengan tangan.  Lalu aku meminta mereka untuk membuat sumur itu paling tidak sepuluh  kali panjangnya dari lengan mereka. Apa reaksi mereka? Itu nanti jadi  lubang toilet, pastor. Oh my God...dan itu benar. Kalau saya melihat  toilet mereka semuanya dalam-dalam. Unik dan sungguh unik. Untuk sumur  hanya sepanjang tangan, tapi untuk kakus dibuat sedalam-dalamnya.
Karemgo
Setelah  dari Membok kami menuju Karemgo dan berjalan kaki. Ini merupakan  kampung lokal juga. Awalnya hampir sama; tidak ada respek yang cukup  dari umat. Kami hanya diterima Mr. Gideon, pemimpin umat yang baik hati.  Kami menginap di rumah dewan kampung yang kosong. Rumahnya bersih dan  sangat bersih. Saking bersihnya, sampai-sampai tak ada perabot apapun.  Ketika kami mau memasak baru bingung. Tidak ada kayu api. Tidak ada  periuk. Tidak ada air juga. Untung ada satu ibu janda, pengungsi asal  Merauke yang peduli kepada kami. Dia membawa beras, mie dan ikan kaleng  kami ke rumahnya dan dia menyediakan diri untuk memasaknya juga. Sekitar  jam delapan malam, aku kaget karena mendengar suara wanita  berteriak-teriak dengan bahasa lokal. Rupanya ada 
tok save  alias woro-woro alias lagi, pengumunan. Mereka keliling dari sudut ke  sudut kampung dan berteriak-teriak keras. Mereka memberitahu bahwa sore  tadi pastor datang ke kampung. Maka besok semua harus datang ke gereja  untuk misa jam sembilan pagi. Setelah itu ada pertemuan dengan seluruh  pemuka dan pemimpin dari berbagai sektor. Dan hasilnya sungguh efektif.  Pagi itu banyak umat yang datang misa. Anak-anak datang ke gereja jauh  lebih banyak lagi dari orang tuanya. Sr. Beata berkata kepadaku bahwa  mereka suka lihat orang baru dan rambut baru. Suster itu benar juga,  sebab sore hari saya sempat bermain basket dengan anak-anak di lapangan  tanah liat yang berdebu. Sambil duduk istirahat ada seorang anak yang  bisu tapi ramah sekali kepadaku. Dia tertarik melihat rambut panjangku.  Sekalian saja aku minta dia mencabuti beberapa uban putih yang selama  ini menghiasi kepalaku.
Kaikok
Dari  Karemgo kami kembali ke Membok. Sehari sesudahnya kami meneruskan  perjalanan ke kampung Kaikok. Kami kembali ke kampung refugee, kampung  pengungsi dari seberang sungai. Kampung lama mereka di seberang namanya  Ambotweng dan berada di wilayah Indonesia. Pada tahun 80an, kampung  mereka diserang tentara. Banyak anggota keluarga mereka yang mati karena  dianggap anggota OPM. Maka mereka melarikan diri ke seberang sungai di  wilayah PNG. Trauma itu membuat mereka tidak mau lagi kembali ke kampung  lama. Kampung ini cukup besar. Hampir 100 KK jumlahnya. Ada Elementary  School yang guru-gurunya juga peduli dengan Gereja. Umat sudah  mempersiapkan segala sesuatu dengan baik sebelum kami sampai di sini.  Perayaan Ekaristi meriah dengan tariannya juga. Pertemuan umat juga  berlangsung dengan baik. Bahkan mereka meminta waktu supaya ada  pelatihan khusus bagi pemimpin ibadat dan pelayan komuni. Minta waktu  juga untuk pengakuan dosa. Ini sebuah kesadaran yang luar biasa dalam  patroli kali ini. Hanya di sini umat sungguh-sungguh menggunakan  waktunya dengan baik. Aku bersyukur kepada Tuhan, sebab di tempat yang  serba sulit seperti ini, umat tetap mengutamakan iman dan hidup rohani  mereka sendiri.
Erecta
Patroli kami  diselamatkan oleh hujan tiga hari sebelumnya. Perlahan-lahan air naik.  Jika tidak, kami tidak bisa masuk ke kampung Erecta melalui sungai.  Hujan tiga hari menaikkan debit air. Hal ini membantu kami juga untuk  menghemat bahan bakar. Kami bisa melewati beberapa 
short cut/jalan  pintas sehingga jarak bisa lebih dekat. Tapi masalah tetap saja ada.  Air hujan menghanyutkan sampah dan kayu-kayu besar dari kali Fly ke  sungai-sungai kecil. Sejak meninggalkan Membok kami melihat air sungai  Bingge yang perlahan-lahan kotor karena didesak air yang lebih banyak  dari Fly River. Begitu juga di sungai Erecta. Ketika pulang meninggalkan  Erecta, kami butuh waktu 15 menit untuk keluar dari hadangan  gelondongan kayu-kayu besar di tengah sungai. Oh ya, aku belum cerita  tentang situasi Erekcta. Malah sudah cerita soal kepulangan. Maaf, saya  kembali lagi ke cerita tentang Erecta. Di sini umat tercerai-berai.  Bukan hanya soal agama, tapi juga populasi dan edukasinya. Dulu kampung  ini mayoritas Katolik. Tapi sekarang tinggal sedikit, karena umat  dihasut oleh Gereja Kristen. Mereka menyerang aneka doktrin Gereja  Katolik  seperti yang kita alami juga di Indonesia. Kampung ini cukup  besar, tapi dipisahkan oleh sungai. Orang-orangnya tidak banyak yang  tinggal di kampung, karena dekat dengan Kiunga. Sehari-hari mereka biasa  pergi menjual hasil bumi ke kota dengan dinghy dan kano bermesin.  Mereka punya fasilitas itu, sebab sebagai kampung lokal, mereka adalah  tuan tanah. Mereka rutin mendapat uang dari OK Tedi sebagai ganti rugi  kerusakan alam di tanah mereka. Tapi sayangnya, mereka tidak bisa  mengaturnya. Uang hanya dihabiskan untuk foya-foya. Rumah mereka tetap  saja seadanya. Ada banyak fasilitas umum yang dibangun OK Tedi di  kampung ini. Sekolah, WC dan kamar mandi umum, sumur bor, aula  pertemuan, dan lain-lain. Itu semua dulunya dilengkapi dengan listrik  solar panel. Tapi sekarang semuanya terbengkalai tak ada artinya.  Sekarang malah ditumbuhi rumput liar. Pintu sekolah dipaku rapat oleh  dewan kampung, karena guru malas mengajar tapi tetap mau menerima gaji  dari pemerintah. Sebuah situasi yang buruk, karena kemajuan teknologi  tidak seiring dengan pengetahuan masyarakatnya. Sungguh, ini PR besar  bagi setiap orang yang peduli pada nasib mereka.
Menyimak  ulang aneka pengalaman selama tiga minggu di sembilan kampung sungguh  luar biasa. Aku seperti sedang mencari mutiara iman di dalam limbah dan  derita hidup mereka. Betapa tidak? Aku bersyukur setiap kali menemukan  situasi di mana umat bertahan dalam iman sekalipun dunia dan hidup  mereka penuh dengan kesusahan dan derita akibat limbah dan endapan  sedimentasi tambang emas OK Tedi. Aku sedih dan meratap di dalam hati  ketika melihat misi Gereja bagi umat lokal belum menunjukkan kemajuan  meski sudah genap setengah abad. Bahkan sudah memakan korban jiwa juga.  Di membok ada monumen ekor pesawat di depan sekolah. Itu adalah pesawat  misi yang jatuh ke sungai dan terbakar pada tahun 90an. Fr. Butch, SMM  yang juga sebagai pilot dan Sr. Pierrete, DW dan seorang bayi meninggal  dunia dalam kecelakaan itu. Yang selamat hanya seorang ibu dan Fr.  Gilles Cote, SMM yang sekarang menjadi Uskup Kiunga. Peristiwa ini  pernah ditulis oleh Romo Mans Werang dalam bukunya dengan judul  “Jatuhnya Pesawat Kami”. Mereka telah menunjukkan cintanya pada tanah  misi. Namun rupanya sampai hari ini benih yang mati itu masih belum  tumbuh juga. Dalam perjalanan patroli ini aku sering bercanda dengan  kedua rekanku, 
“we are going together to proclaim the Kingdom of God, but we find here the Kingdom of DoG(s).”  Ini lelucon kami yang nyata. Di setiap kampung yang kami singgahi  terlalu banyak anjing. Anjing-anjing ikut tinggal dan makan di dalam  rumah. Setiap pagi yang membangunkan kami adalah gonggongan dan  perkelahian anjing-anjing yang memperebutkan betina mereka. Akan tetapi,  tolong jangan beri perhatian pada anjingnya. Aku mengajak anda semua  untuk melihat lebih dalam, yakni iman mereka. Iman yang mendesak kami  untuk berusaha dan bekerja lebih keras lagi. Iman yang mendorong kami  berseru dan berteriak lebih keras daripada gonggongan anjing mereka. Ini  perlu supaya ‘kingdom of God’ lebih menarik daripada ‘kingdom of Dog’.  Ini perlu juga untuk menemukan mutiara di antara limbah. Mutiara iman  yang terkubur dan tergusur oleh limbah tambang emas OK Tedi.
spmcm
Kamis, 8 September 2011