Link Video : http://www.youtube.com/watch?v=IvHwN9MtBng
Alkisah, ada sepasang kekasih yang saling mencintai. Sang pria berasal dari keluarga kaya, dan merupakan orang yang terpandang di kota tersebut. Sedangkan sang wanita adalah seorang yatim piatu, hidup serba kekurangan, tetapi cantik, lemah lembut, dan baik hati. Kelebihan inilah yang membuat sang pria jatuh hati.
Sang wanita hamil di luar nikah.. Sang pria lalu mengajaknya menikah dengan membawa sang wanita ke rumahnya. Seperti yang sudah mereka duga, orang tua sang pria tidak menyukai wanita tersebut. Sebagai orang yang terpandang di kota tersebut, latar belakang wanita tersebut akan merusak reputasi keluarga. Sebaliknya, bahkan mereka telah mencarikan jodoh yang sepadan untuk anaknya. Sang pria berusaha meyakinkan orang tuanya bahwa ia sudah menetapkan keputusannya, apapun resikonya bagi dia.
Sang wanita merasa tak berdaya, tetapi sang pria meyakinkan wanita tersebut bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Sang pria terus beragumen dengan orang tuanya bahkan membantah perkataan orang tuanya, sesuatu yang belum pernah dilakukannya selama hidupnya. (di jaman dulu, umumnya seorang anak sangat tunduk pada orang tuanya).
Sebulan telah berlalu, sang pria gagal untuk membujuk orang tuanya agar menerima calon istrinya. Sang orang tua juga stress karena gagal membujuk anak satu-satunya agar berpisah dengan wanita tersebut yang menurut mereka akan sangat merugikan masa depannya.
Sang pria akhirnya menetapkan pilihan untuk kawin lari. Ia memutuskan untuk meninggalkan semuanya demi sang kekasih. Waktu keberangkatan pun ditetapkan. Akan tetapi rupanya rencana ini diketahui oleh orang tua sang pria. Maka ketika saatnya tiba, sang orang tua mengunci anaknya di dalam kamar dan dijaga ketat oleh para bawahan di rumahnya yang besar.
Sebagai gantinya, kedua orang tua datang ke tempat yang telah ditentukan sepasang kekasih tersebut untuk melarikan diri. Sang wanita sangat terkejut dengan kedatangan ayah dan ibu sang pria….. Mereka kemudian memohon pengertian dari sang wanita agar meninggalkan anak mereka satu-satunya.
Menurut mereka, dengan perbedaan status sosial yang sangat besar, perkawinan mereka hanya akan menjadi gunjingan seluruh penduduk kota, reputasi anaknya akan tercemar, orang-orang tidak akan menghormatinya lagi. Akibatnya, bisnis yang akan diwariskan kepada anak mereka akan bangkrut secara perlahan-lahan.
Mereka bahkan memberikan uang dalam jumlah banyak, dengan permohonan agar wanita tersebut meninggalkan kota ini, tidak bertemu dengan anaknya lagi, dan menggugurkan kandungannya. Uang tersebut dapat digunakan untuk membiayai hidupnya di tempat lain.
Sang wanita menagis tersedu-sedu. Dalam hati kecilnya, ia sadar bahwa perbedaan status sosial yang sangat jauh akan menimbulkan banyak kesulitan bagi kekasihnya. Akhirnya ia setuju untuk meninggalkan kota ini tetapi menolak untuk menerima uang tersebut. Ia mencintai sang pria, bukan uangnya.. Walaupun ia sepenuhnya sadar jalan hidupnya ke depan akan sangat sulit.
Ibu sang pria kembali memohon kepada wanita tersebut untuk meninggalkan sepucuk surat kepada mereka yang menyatakan bahwa ia memilih berpisah dengan sang pria. Ibu sang pria kuatir anaknya akan terus mencari kekasihnya dan tidak mau meneruskan usaha orang tuanya. “Walaupun ia kelak bukan suamimu, bukankan Anda ingin melihatnya sebagai seorang yang berhasil? Ini adalah untuk kebaikan kalian berdua”, kata sang ibu.
Dengan berat hati, sang wanita menulis surat. Ia menjelaskan bahwa ia sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan sang pria. Ia sadar bahwa keberadaannya hanya akan merugikan sang pria. Ia minta maaf karena telah melanggar janji setia mereka berdua bahwa mereka akan selalu bersama dalam menghadapi penolakan-penolakan akibat perbedaan status sosial mereka. Ia tidak kuat lagi menahan penderitaan ini dan memutuskan untuk berpisah.
Tetesan air mata sang wanita tampak membasahi surat tersebut.
Sang wanita yang malang tersebut tampak tidak punya pilihan lain. Ia terjebak antara moral dan cintanya. Sang wanita segera meninggalkan kota itu, sendirian. Ia menuju sebuah desa yang lebih terpencil. Di sana, ia bertekad untuk melahirkan dan membesarkan anaknya.
Tiga tahun telah berlalu….
Ternyata wanita tersebut telah menjadi seorang ibu. Anaknya seorang laki-laki. Sang ibu bekerja keras siang dan malam untuk membiayai kehidupan mereka. Di pagi dan di siang hari, ia bekerja di sebuah industri rumah tangga, malamnya ia menyuci pakaian-pakaian tetangga dan menyulam sesuai dengan pesanan pelanggan. Kebanyakan ia melakukan semua perkerjaan ini sambil menggendong anaknya di punggungnya.
Walaupun ia cukup berpendidikan, ia menyadari bahwa pekerjaan lain tidak memungkinkan karena ia harus berada di sisi anaknya setiap saat. Akan tetapi sang ibu tidak pernah mengeluh dengan pekerjaannya.
Di usia tiga tahun, suatu saat, sang anak tiba-tiba sakit keras. Demamnya sangat tinggi. Ia segera dibawa ke rumah sakit setempat. Anak tersebut harus menginap di rumah sakit selama beberapa hari. Biaya pengobatan telah menguras habis seluruh tabungan dari hasil kerja kerasnya selama ini dan itupun belum cukup. Ibu tersebut akhirnya juga meminjam ke sana-sini kepada siapapun yang bermurah hati untuk memberikan pinjaman.
Saat diperbolehkan pulang, sang dokter menyarankan untuk membuat sup ramuan untuk mempercepat kesembuhan putranya. Ramuan tersebut terdiri atas obat-obat herbal dan daging sapi untuk dikukus bersama. Akan tetapi sang ibu hanya mampu membeli obat-obat herbal tersebut. Ia tidak punya uang sepeserpun lagi untuk membeli daging. Untuk meminjam lagi, rasanya tak mungkin karena ia telah berutang kepada semua orang yang ia kenal dan belum terbayar.
Ketika di rumah, sang ibu menangis. Ia tidak tau harus berbuat apa untuk mendapatkan daging. Toko daging di desa tersebut telah menolak permintaannya untuk membayar di akhir bulan saat gajian.
Di antara tangisannya, ia tiba-tiba mendapatkan ide. Ia mencari alkohol yang ada di rumahnya, sebilah pisau dapur, dan sepotong kain. Setelah pisau dapur dibersihkan dengan alkohol, sang ibu nekad mengambil sekerat daging dari pahanya. Agar tidak membangunkan anaknya yang sedang tidur, ia mengikat mulutnya dengan sepotong kain. Darah berhamburan… Sang ibu tengah berjuang mengambil dagingnya sendiri sambil berusaha tidak mengeluarkan suara kesakitan yang teramat sangat.
Hujan lebatpun turun. Lebatnya hujan menyebabkan rintihan kesakitan sang ibu tidak terdengar oleh para tetangga terutama oleh anaknya sendiri. Tampaknya langit juga tersentuh dengan pengorbanan yang sedang dilakukan sang ibu….
Enam tahun telah berlalu…
Anaknya tumbuh menjadi seorang anak yang tampan, cerdas, dan berbudi pekerti. Ia juga sangat saying ibunya… Di hari minggu mereka sering pergi ke taman di desa tersebut, bermain bersama, dan bersama-sama menyanyikan lagu “Shi Sang Chi You Mama Hau” (=di dunia ini, hanya ibu seorang yang baik)
Sang anak juga sudah bersekolah.. Sang ibu sekarang bekerja sebagai penjaga toko karena ia sudah bisa meninggalkan anaknya di siang hari.
Hari-hari terlewatkan dengan kebersamaan, penuh kebahagiaan. Sang anak terkadang memaksa ibunya agar ia bisa membantu ibunya menyuci di malam hari. Ia tau ibunya masih menyuci di malam hari karena perlu tambahan biaya untuk sekolahnya. Ia memang seorang anak yang cerdas.
Ia juga tau bulan depan adalah hari ulang tahun ibunya. Ia berniat membelikan sebuah jam tangan yang sangat didambakan ibunya selama ini. Ibunya pernah mencobanya di sebuah toko tetapi segera menolak setelah pemilik toko menyebutkan harganya. Jam tangan itu sederhana, tidak terlalu mewah, tetapi bagi mereka itu masih terlalu mahal. Masih banyak keperluan lain yang harus dibiayai.
Sang anak segera pergi ke toko tersebut yang tidak jauh dari rumahnya. Ia meminta kepada kakek pemilik toko agar menyimpan jam tangan tersebut karena ia kaan membelinya bulan depan. “Apakah kamu punya uang?” , tanya sang pemilik toko. “Tidak sekarang, nanti saya akan punya”, kata sang anak dengan serius.
Ternyata bulan depannya sang anak benar-benar muncul untuk membeli jam tangan tersebut. Sang kakek juga terkejut, kiranya sang anak hanya main-main.
Ketika menyerahkan uangnya, sang kakek bertanya, “Dari mana kamu mendapatkan uang itu? Bukan mencuri, kan?”. “Saya tidak mencuri, kakek”. “Hari ini adalah hari ulang tahun ibuku. Saya biasanya naik becak pulang pergi ke sekolah. Selama sebulan ini saya berjalan kaki saat pulang dari sekolah. Uang jajan dan uang becaknya saya simpan untuk beli jam ini. Kakiku sakit tapi ini semua untuk ibuku. O ya, jangan bertahu ibuku tentang hal ini. Ia akan marah”, kata sang anak. Sang pemilik toko tampak kagum pada anak tersebut.
Seperti biasanya, sang ibu pulang dari kerja di sore hari. Sang anak segera memberikan ucapan selamat pada ibunya dan menyerahkan jam tangan tersebut. Sang ibu terkejut bercampur haru, ia bangga dengan anaknya. Jam tangan ini memang adalah impiannya. Akan tetapi sang ibu tiba-tiba tersadar, akan dari mana uang untuk membeli jam tangan tersebut. Sang anak tutup mulut, tidak mau menjawab.
“Apakah kamu mencuri, nak?”. Sang anak diam seribu bahasa. Ia tidak ingin ibunya mengetahui bagaimana ia mengumpulkan uang tersebut. Setelah ditanya berkali-kali tanpa ada jawaban, sang ibu menyimpulkan bahwa anaknya telah mencuri. “Walaupun kita miskin, kita tidak boleh mencuri. Bukankah ibu sudah mengajari kamu tentang hal ini?”, tanya sang ibu.
Lalu ibu mengambil rotan dan mulai memukuli anaknya. Biarpun ibu sayang anaknya, ia harus mendidiknya sejak kecil. Sang anak menangis, sedangkan air mata sang ibu mengalir keluar. Hatinya begitu perih karena ia sedang memukul belahan hatinya. Akan tetapi ia harus melakukannya demi kebaikan anaknya.
Suara tangisan sang anak terdengar keluar. Para tetangga menuju ke rumah tersebut dengan heran dan kemudian prihatin setelah mengetahui kejadiannya. “Ia sebenarnya anak yang baik”, kata salah satu tetangganya.
Kebetulan sekali, sang pemilik toko sedang berkunjung ke rumah salah satu tetangganya yang merupakan familinya.
Ketika ia keluar melihat ke rumah itu, ia segera mengenal anak itu. Ketika mengetahui persoalannya, ia segera menghampiri ibu itu untuk menjelaskan. Akan tetapi tiba-tiba sang anak berlari ke arah pemilik toko untuk memohon agar tidak menceritakan yang sebenarnya pada ibunya.
“Nak, ketahuilah, anak yang baik tidak boleh berbohong, dan tidakboleh menyembunyikan sesuatu dari ibunya”. Sang anak mengikuti nasihat kakek itu. Maka kakek itu mulai menceritakan bagaimana sang anak tiba-tiba muncul di tokonya sebulan yang lalu, memintanya untuk menyimpan jam tangan tersebut, dan sebulan kemudian akan membelinya. Anak itu muncul siang tadi di tokonya, katanya hari ini adalah hari ulang tahun ibunya. Ia juga menceritakan bagaimana sang anak berjalan kaki dari sekolahnya pulang ke rumah dan tidak jajan di sekolah selama sebulan ini untuk mengumpulkan uang untuk membeli jam tangan kesukaan ibunya.
Tampak sang kakek meneteskan air mata saat selesai menjelaskan hal tersebut, begitu pula dengan tetangganya. Sang ibu segera memeluk anak kesayangannya. Keduanya menangis tersedu-sedu. “Maafkan saya, nak”. “Tidak bu… saya yang bersalah”
Sementara itu…
Ternyata sang ayah dari sang anak sudah menikah, tetapi istrinya mandul. Mereka tidak punya anak. Orang tuanya sangat sedih akan hal ini karena tidak akan ada yang mewarisi usaha mereka kelak.
Ketika sang ibu dan anaknya berjalan-jalan ke kota, dalam sebuah kesempatan, mereka bertemu dengan sang ayah dan istrinya. Sang ayah baru menyadari bahwa sebenarnya ia sudah punya anak dari darah dagingnya sendiri.. Ia mengajak mereka berkunjung ke rumahnya, bersedia menanggung semua biaya hidup mereka, tetapi sang ibu menolak. “Kami bisa hidup baik tanpa bantuanmu”.
Berita ini segera diketahui oleh orang tua sang ayah. Mereka begitu ingin melihat cucunya tetapi sang ibu tidak mengijinkan.
Di pertengahan tahun, penyakit sang anak kembali kambuh. Dokter mengatakan bahwa penyakit sang anak butuh operasi dan perawatan yang konsisten. Kalau kambuh lagi, akan membahayakan jiwanya.
Keuangan sang ibu sudah agak membaik dibandingkan sebelumnya. Akan tetapi biaya medis tidaklah murah. Ia tidak sanggup membiayainya.
Sang ibu kembali berpikir keras.. Akan tetapi ia tidak menemukan solusi yang tepat. Satu-satunya jalan keluarnya adalah menyerahkan anaknya kepada sang ayah karena sang ayahnyalah yang mampu membiayai perawatannya.
Maka di hari Minggu ini sang ibu kembali mengajak anaknya berkeliling kota, bermain-main di taman kesukaan mereka. Mereka gembira sekali menyanyikan lagu Shi Sang Chi You Mama Hau, lagu kesayangan mereka. Untuk sejenak, sang ibu melupakan semua penderitaannya. Ia hanyut dalam kegembiraan bersama sang anak.
Sepulang ke rumah, sang ibu menjelaskan keadaannya pada sang anak. Sang anak menolak untuk tinggal bersama ayahnya karena ia hanya ingin dengan ibunya. “Tetapi ibu tidak mampu membiayai perawatan kamu, nak”, kata ibunya. “Tidak apa-apa bu, saya tidak perlu dirawat. Saya sudah sehat bila bisa bersama-sama dengan ibu. Bila sudah besar nanti, saya akan mencari banyak uang untuk biaya perawatan saya dan untuk ibu. Nanti ibu tidak perlu bekerja lagi”, kata sang anak. Akan tetapi ibunya memaksa akan berkunjung ke rumah sang ayah keesokan harinya. Penyakitnya memang bisa kambuh setiap saat.
Di sana sang anak diperkenalkan dengan kakek dan neneknya. Keduanya sangat senang melihat anak imut tersebut. Ketika ibunya hendak pulang, sang anak meronta-ronta ingin ikut pulang dengan ibunya. Walaupun diberikan mainan kesukaan sang anak, yang tidak pernah ia peroleh saat bersama ibunya, sang anak menolak. “Saya ingin ibu, saya tidak mau mainan itu”, teriak sang anak dengan nada yang polos. Dengan hati sedih dan menangis, sang ibu berkata ,”Nak, kamu harus dengar nasihat ibu. Tinggallah di sini. Ayah, kakek, dan nenek akan bermain bersamamu.”. “Tidak, aku tidak mau mereka. Saya hanya mau ibu, saya sayang ibu, bukankah ibu juga sayang saya? Ibu sekarang tidak mau saya lagi”, sang anak mulai menangis.
Bujukan demi bujukan ibunya untuk tinggal di rumah besar tersebut tidak didengarkan anak kecil tersebut. Sang anak menangis tersedu-sedu. “Kalau ibu sayang padaku, bawalah saya pergi, bu”. Sampai pada akhirnya, ibunya memaksa dengan berkata, “Benar, ibu tidak sayang kamu lagi. Tinggallah di sini”, ibunya segera berlari keluar meninggalkan rumah tersebut. Tampak anaknya meronta-ronta dengan ledakan tangis yang memilukan.
Di rumahnya, sang ibu kembali meratapi nasibnya. Tangisannya begitu menyayat hati. Ia telah berpisah dengan anaknya. Ia tidak diperbolehkan menjenguk anaknya tetapi mereka berjanji akan merawat anaknya dengan baik. Di antara isak tangisnya, ia tidak menemukan lagi arti hidup ini. Ia telah kehilangan satu-satunya alasan untuk hidup: anaknya tercinta.
Kemudian ibu yang malang itu mengambil pisau dapur untuk memotong urat nadinya. Akan tetapi sesaat sebelum ia melakukannya, ia sadar bahwa anaknya mungkin akan tidak diperlakukan dengan baik. “Tidak, aku harus tetap hidup untuk mengetahui bahwa anaknya diperlakukan dengan baik.” Segera, niat bunuh diri itu dibatalkan. Demi anaknya juga….
Setahun berlalu...
Sang ibu telah pindah ke tempat lain. Ia mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi. Sang anak telah sehat walaupun belum menjalani perawatan medis secara rutin tiap bulan.
Seperti biasa, sang anak ingat akan hari ulang tahun ibunya. Uang pun dapat ia peroleh dengan mudah tanpa perlu bersusah payah mengumpulkannya. Maka pada hari tersebut, sepulang dari sekolah, ia tidak pulang ke rumahnya. Ia segera naik bus menuju ke desa tempat tinggal ibunya yang memakan waktu beberapa jam. Sang anak telah mempersiapkan setangkai bunga, sepucuk surat yang menyatakan ia setiap hari merindukan sang ibu, sebuah kartu ucapan selamat ulang tahun, dan nilai ujian yang sangat bagus. Ia akan memberikan semuanya untuk sang ibu.
Sang anak berlari riang gembira melewati gang-gang kecil menuju rumahnya dulu. Akan tetapi ketika ia sampai di rumah, ia mendapati rumah itu telah kosong. Tetangga mengatakan ibunya telah pindah dan tidak ada yang tau ke mana ibunya pergi. Sang anak tidak tau harus berbuat apa. Ia duduk di depan rumah tersebut, menangis. “Ibu benar-benar tidak menginginkan saya lagi.”
Sementara itu, keluarga sang ayah begitu cemas ketika sang anak sudah terlambat pulang ke rumah selama lebih dari 3 jam. Gurunya mengatakan bahwa semuanya sudah pulang. Semua tempat sudah dicari tetapi tidak ada kabar.
Mereka panik. Sang ayah menelepon ibunya, yang juga sangat terkejut. Polisipun dihubungi untuk melaporkan anak hilang.
Ketika sang ibu sedang berpikir keras, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Ia terlalu sibuk sampai melupakannya. Anaknya mungkin pulang ke rumah. Maka sang ayah dan sang ibu segera naik mobil menuju rumah tersebut. Sayangnya, mereka hanya menemukan kartu ulang tahun, setangkai bunga, nilai ujian yang bagus, dan sepucuk surat anaknya. Sang ibu tidak mampu menahan tangisannya saat membaca tulisan-tulisan imut anaknya dalam surat itu.
Hari mulai gelap. Mereka sibuk mencari di sekitar desa tersebut tanpa mendapatkan petunjuk apapun. Sang ibu semakin resah. Kemudian sang ibu membakar dupa, berlutut di hadapan altar Dewi Kuan Im. Sambil menangis ia memohon agar bisa menemukan anaknya.
Seperti mendapatkan petunjuk, sang ibu tiba-tiba ingat bahwa ia dan anaknya pernah pergi ke sebuah kuil Kuan Im di desa tersebut. Ibunya pernah berkata bahwa bila kamu memerlukan pertolongan, mohonlah kepada Dewi Kuan Im yang welas asih. Dewi Kuan Im pasti akan menolongmu jika niat kamu baik.
Ibunya memprediksikan bahwa anaknya mungkin pergi ke kuil tersebut untuk memohon agar bisa bertemu dengan dirinya.
Benar saja, ternyata sang anak berada di sana. Akan tetapi ia pingsan, demamnya tinggi sekali. Sang ayah segera menggendong anaknya untuk dilarikan ke rumah sakit. Saat menuruni tangga kuil, sang ibu terjatuh dari tangga, dan berguling-guling jatuh ke bawah…
Sepuluh tahun sudah berlalu…
Kini sang anak sudah duduk di bangku kuliah. Ia sering beradu mulut dengan ayahnya mengenai persoalan ibunya. Sejak jatuh dari tangga, ibunya tidak pernah ditemukan. Sang anak telah menghabiskan banyak uang untuk mencari ibunya kemana-mana tetapi hasilnya nihil.
Siang itu, seperti biasa sehabis kuliah, sang anak berjalan bersama dengan teman wanitanya. Mereka tampak serasi. Saat melaju dengan mobil di sebuah persimpangan sebuah jalan, ia melihat seorang wanita tua yang sedang mengemis. Ibu tersebut terlihat kumuh dan tampak memakai tongkat. Ia tidak pernah melihat wanita itu sebelumnya. Wajahnya kumal dan ia tampak berkomat-kamit.
Didorong rasa ingin tau, ia menghentikan mobilnya dan turun bersama pacarnya untuk menghampiri pengemis tua tadi. Ternyata sang pengemis tua sambil mengacungkan kaleng kosong untuk meminta sedekah, ia berucap dengan lemah, “Di manakah anakku? Apakah kalian melihat anakku?”.
Sang anak merasa mengenal wanita tua itu. Tanpa disadari, ia segera menyanyikan lagu Shi Sang Chi You Mama Hau dengan suara perlahan. Tak disangka, sang pengemis tua ikut menyanyikannya dengan suara lemah. Mereka berdua menyanyikan bersama. Ia segera mengenal suara ibunya yang selalu menyanyikan lagu tersebut saat ia kecil. Sang anak segera memeluk pengemis tua itu dan berteriak dengan haru “Ibu, ini saya bu”.
Sang pengemis tua itu terkejut. Ia meraba-raba muka sang anak lalu bertanya, “Apakah kamu anakku?” “Benar bu, saya adalah anak ibu”
Keduanyapun berpelukan dengan erat. Air mata keduanya berbaur membasahi bumi…
Karena jatuh dari tangga, sang ibu yang terbentur kepalanya menjadi hilang ingatan. Akan tetapi setiap hari ia selama sepuluh tahun terus mencari anaknya tanpa peduli dengan keadaan dirinya. Sebagian orang menganggapnya sebagai orang gila.
Dalam kondisi kritis, ibu kita akan melakukan apa saja demi kita. Ibu bahkan rela mengorbankan nyawanya…
Di antara lebih dari 6 milyar manusia, di antara orang-orang di sekeliling anda, di antara orang-orang yang anda kenal, siapakah yang rela mengorbankan nyawanya untuk anda kapanpun, di manapun, dengan cara apapun?
Tidak diragukan lagi ibu kita adalah orang yang paling mulia di dunia ini.
Ingin bergabung dengan sebuah MISI MULIA
Ada 2 tindakan yang dapat Anda lakukan:
1. Bila anda beruntung (ibu anda masih ada di dunia ini) ajaklah ia untuk keluar makan atau jalan-jalan MALAM INI JUGA. Jangan ditunda-tunda. Bila ibu anda tinggal di tempat yang terpisah jauh dengan anda, telponlah dia malam ini juga just to say ‘hello’. Catatlah hari ulang tahunnya, rayakan, dan bahagiakanlahh dia semampu anda. Hidangkan makanan favoritnya, dst.
2. Kirimkanlah kisah ini kepada saudara-saudara anda, teman-teman anda, maupun rekan-rekan kerja anda. Bagi sebagian dari mereka, bisa jadi kisah ini akan menjadi seperti setetes embun yang menyegarkan jiwa mereka yang terkadang terlalu sibuk dengan aktivitasnya sendiri.
Mom, my beloved, I love you mom. Forever… deep in my heart.. I always missing you mom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar