Sabtu, 27 Agustus 2011
Rawaseneng
Musim liburan bagi beberapa orang adalah musim berwisata. Selain wisata alam, wisata kuliner, atau wisata belanja, sekali-sekali cobalah berwisata rohani. Saya bagikan kembali pengalaman saya ketika berkunjung ke Pertapaan Trappist di Rawaseneng, tahun 2010 lalu.
====================================================================================
Awal tahun 2010 lalu saya dan kawan saya, Ch. Mulyani, jalan-jalan ke Pertapaan Santa Maria Rawaseneng. Perjalanan kami awali dari Ambarawa karena kami baru saja menghabiskan malam tahun baru di Goa Kerep Ambarawa. Dari terminal Ambarawa kami naik bus jurusan Semarang – Jogja. Di Secang kami turun, dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan bus yang lebih kecil lagi ke arah Maron. Ketika kami menyebutkan tujuan kami, pak Kondekturnya langsung menebak: “Mau ke Rawaseneng ya Mbak?”
Mungkin memang musim seperti ini banyak yang pergi ke sana.
“Ke tempat pastor-pastor itu kan Mbak?” kata pak Kondektur itu lagi ramah.
Sampai di pertigaan Maron, kami berhenti dulu dan mencari teh untuk menghangatkan perut kami. Kebetulan pula ibu pemilik warung itu menggoreng tempe gembus! Hwaduh! Sudah hampir seperempat abad sejak meninggalkan Jogja kami tidak pernah lagi merasakan tempe gembus! Jadilah kami seperti kesetanan melihat makanan tersebut!
Angkutan Pedesaan yang membawa kami berhenti di dusun Rawaseneng, yang merupakan perhentian terakhir. Dari situ kami masih harus berjalan kaki, namun tidak terlalu jauh, hanya sekitar 200 m. Sampai di pertapaan, kami disambut oleh Frater Blasius, OSCO yang selama ini berkomunikasi dengan kami mengenai Rawaseneng.
Kami ditunjukkan kamar yang luar biasa bersihnya. Kami sampai ternganga melihatnya. Perabotannya sungguh sederhana, terdiri dari dua buah dipan dengan kasur dan seprei putih. Satu buah meja kayu, dua buah kursi kayu, dan satu buah lemari yang juga terbuat dari kayu. Ketika saya mencoba mengangkat kursinya… mak! Bueratnya minta ampun! Lantainya juga lantai ubin, yang kesemuanya beserta dengan perabotannya mengingatkan saya pada rumah masa kecil saya…
Kamar itu memiliki satu jendela besar yang langsung menghadap ke arah kebun belakang. Jadi, begitu jendela dibuka, tampaklah rumput menghampar dengan jajaran bunga kemerahan di sela daun-daun hijau yang segar. Dari situ juga nampak sebuah pohon durian, pohon alpukat dan pohon mangga. Kedua pohon ini kelihatannya sedang berbuah walaupun masih belum masak…
Setelah selesai ternganga-nganga melihat kamar kami, kami segera mandi dan beres-beres, karena jam 10 misa awal tahun akan segera dimulai. Saya sudah tahu bahwa air di daerah pegunungan pasti dingin. Tapi, tahu ternyata tidak sama dengan merasakannya sendiri! Begitu merasakan guyuran air itu…. Brrrrr!!!!! Saya terkejut setengah mati! Dingiiiiiiiiinnnnnyaaa!!!!
Jam 10 tepat, misa awal tahun dimulai. Tanggal 1 Januari juga merupakan peringatan Santa Perawan Maria Bunda Allah. Misa dilangsungkan di Kapel Santa Maria yang bentuknya sangat unik. Tempat duduk umat dipisahkan dengan tempat duduk para rahib. Dan tempat duduk para rahib ini tidak menghadap ke altar, melainkan menghadap ke sisi kiri untuk lajur di sebelah kanan dan sebaliknya. Jadi, ketika berdoa, atau menyenandungkan kidung, para rahib ini saling berhadapan.
Mereka, para rahib itu, mendapat tempat satu kursi seorang. Uniknya, kursi mereka bisa dilipat, sehingga bila mereka berdiri, mereka melipat kursi mereka ke atas. Demikian juga, bila hendak duduk, mereka menurunkan kursi mereka untuk diduduki. Ketika hendak pulang, saya pernah mencoba menurunkan lipatan kursi ini untuk saya foto… dan ternyata beratnyaaaaa minta ampun! Saya bayangkan betapa kuatnya tangan-tangan para rahib itu karena dalam satu kali ibadat harus beberapa kali mengangkat dan menurunkan lipatan kursi!
Walaupun masih dalam suasana Natal, kapel kecil ini tidak ramai dihiasi dengan pernik-pernik Natal. Hanya ada gua Natal yang diletakkan persis di bawah altar. Jadi seolah-olah altar itulah guanya. Di situlah diletakkan patung Bunda Maria, Santo Yosef, dan tentu saja El Nino di tengah-tengahnya. Selebihnya hiasan kapel itu adalah rangkaian bunga hidup yang nampaknya dipetik dari kebun pertapaan.
Misa berlangsung dengan sederhana namun khidmat. Walaupun tanpa dirigen, lagu-lagu dinyanyikan bersama dengan padu, dengan iringan organ yang lembut. Sejuk rasanya telinga kami mendengarnya. Umatpun mengikuti misa dengan tekun dan sopan.
Tidak ada yang berbicara apalagi main hape! Rasa hormat umat terhadap Allah yang hadir dalam misa kentara sekali di misa hari itu di kapel kecil itu…
Setiap harinya, para rahib mengadakan enam kali ibadat dan satu kali Ekaristi. Untuk hari biasa ibadat akan dimulai pk. 3.30 dini hari dengan Ibadat Bacaan, dilanjutkan Ibadat Pagi pada pk. 6.00. Kemudian pada pukul 08.00 tepat diadakan Ibadat Siang I. Ibadat Siang II mulai pk. 12.00. Pukul 14.30 akan diadakan Ibadat Sore, dan selanjutnya pada pukul 17.30 diadakan Ekaristi. Hari itu akan ditutup dengan Ibadat Penutup pada pukul 19.45.
Untuk hari Minggu atau hari Raya seperti hari itu, biasanya akan diadakan misa pukul 10.00 dan Ibadat Siang I ditiadakan. Sorenya, pukul 17.30 biasanya diadakan Ibadat Sore dan dilanjutkan dengan adorasi.
Ketika masih di Pekanbaru, Frater Blasius, OCSO yang kami telepon mewanti-wanti betul supaya kami mengikuti semua ibadat tersebut. Tentu saja kami sangat bersedia mengikuti semua ibadatnya! Memang berat rasanya, masih enak-enak tidur, eh, sudah harus ibadat lagi. Tetapi sulit juga untuk dipungkiri,ternyata kami sangat menyukainya.
Pagi itu selesai misa, kami langsung menikmati snack pagi. Snack pagi itu berupa kue-kue kering buatan Pertapaan Santa Maria yang terkenal enak. Dan, ternyata benar, kue lidah kucing yang dihidangkan beda sekali rasanya! Kering, renyah, gurih… intinya: lezat!
Snack tersebut ditemani dengan tiga pilihan minuman hangat; kopi, teh, atau susu asli dari sapi-sapi yang dipelihara oleh pertapaan. Kopi pun kopi asli dari perkebunan pertapaan. Wah… sedapnya….!
Selanjutnya setiap pagi pukul 9 dan sore pukul 3 kami boleh menikmati snack. Snacknya berupa kue-kue sederhana yang enak rasanya, seperti unti, tahu goreng, tempe goreng, dan lain-lain yang semua disajikan hangat-hangat. Di tengah udara yang sangat dingin di Rawaseneng seperti itu, rasanya ingin sekali menghabiskan satu nampan tahu goreng…!
Sehabis menghabiskan snack pagi itu, kami sempatkan berjalan-jalan ke kandang sapi, sambil menunggu waktu Ibadat Siang.
Pertapaan ternyata memiliki banyak sekali sapi; jantan, betina, dan juga anak-anak sapi. Dan uniknya, untuk sapi-sapi betina, mereka diberi nama! Ada sapi bernama Theresia, atau Magdalena! Saya jadi geli sendiri. Keesokan harinya kami sempat nonton bagaimana sapi-sapi itu diperah susunya. Sapi-sapi di sana begitu besar. Mereka nampak kuat dan sehat. Apalagi sapi-sapi jantannya, nampak kekar dan sangar. Selain sapi perah, pertapaan juga memelihara babi. Saya tidak tahu, apakah para babi itu juga memiliki nama.
Sayangnya, hari itu kami tidak bisa memuaskan keinginan kami untuk berjalan-jalan berkeliling pertapaan. Menjelang sore, setelah Ibadat Sore, cuaca menjadi mendung, dan kabut tebal langsung menutupi kawasan pertapaan, dan kemudian hujan turun. Aduuuh… kecewanya…. Menurut salah seorang pengunjung, sejak minggu terakhir Desember, pertapaan selalu diliputi awan dan kemudian hujan.
Tentu saja, pemandangan alam pegunungan yang sejuk dan segar, lengkap dengan peternakan sapi dan kebun kopi, bukanlah satu-satunya daya tarik Pertapaan Rawaseneng. Yang kami cari, dan kami yakin sebagian besar orang yang datang ke situ cari, adalah keindahan ibadat-ibadat yang dilakukan oleh para rahib, yang selama dua hari itu coba kami ikuti. Sebenarnya sangat sulit menggambarkan setiap detik demi detik yang sangat berharga, ketika kami mulai memasuki kapel kecil yang sederhana namun anggun. Keheningan yang ditawarkan seperti guyuran air hujan di musim kering.
Satu-satunya kemewahan duniawi adalah musik organ yang dimainkan dengan lembuuuuut sekali, berpadu indah dengan suara empuk para rahib. Mazmur-mazmur semua dilagukan, dan dinyanyikan dengan nada-nada yang sangat sederhana. Namun, kesederhanaan itulah yang malahan membuatnya menjadi begitu indah.
Ibadat-ibadat ini sebelumnya selalu diawali dengan dentang lonceng. Bunyi lonceng ini begitu merdu terdengar, seolah-olah suaranya bergema, dipantulkan oleh bukit-bukit di sekeliling pertapaan. Bunyi lonceng panjang menandakan ibadat tinggal setengah jam lagi. Lonceng panjang ini juga sekalian panggilan untuk pulang, bagi para rahib yang sedang bekerja di luar pertapaan. Dan bunyi lonceng pendek menandakan ibadat akan dimulai sepuluh menit lagi. Bila dentang lonceng sudah berbunyi, maka satu persatu para rahib dengan tertibnya memasuki kapel, kemudian berlutut dan berdoa. Nyaris tak ada suara yang terdengar, kecuali derak lantai kayu bersentuhan dengan sandal-sandal karet para rahib…
Begitu jam di kapel tersebut berdenting, menunjukkan waktu sudah jam 3.30 atau jam 6.00 atau jam-jam ibadat lainnya, langsung saja organis akan memulai mengetuk tuts-tuts organnya. Bila tidak menggunakan organ pun (kelihatannya organ hanya digunakan pada hari besar – penulis), maka salah seorang rahib pasti akan langsung memulai ibadat.
“Ke dalam tanganMu, kuserahkan diriku, ya Tuhan penyelamatku…” Ini adalah larik pertama yang mengawali setiap ibadat.
Semua berlangsung tanpa komando yang menghebohkan. Keheningkan tetap terjaga sampai ibadat selesai. Ketika ibadat selesai, para rahib ini biasanya masih melanjutkan dengan meditasi pribadi, kemudian satu per satu dengan tenang dan tertib meninggalkan kapel.
Umat yang mengikuti misa ataupun ibadat pun jadi ikut-ikutan tertib. Tidak ada yang berani bersuara selama ibadat atau misa berlangsung. Saya sendiri sampai tidak berani menggambil gambar. Rasanya takut sekali merusak keindahan suasana yang begitu hening seperti itu. Selain juga rasanya sayang melewatkan sekian menit waktu ibadat dengan mengambil gambar…
Hari itu, hari Sabtu, diadakan ibadat-ibadat seperti biasanya. Namun, tidak seperti hari-hari yang lainnya, malamnya setelah Ibadat Malam diadakan adorasi. Pada saat adorasi, semua lampu kapel dimatikan. Monstran diletakkan di tengah di antara tiga pasang lilin yang disusun berjenjang, dari pendek ke panjang, sehingga menimbulkan silhouette yang indah. Adorasi dilagukan dalam bahasa Latin.
Salah satu yang sangat menyentuh buat saya, adalah ketika pada hari Sabtu malam itu, setelah Ibadat Penutup dan adorasi, para rahib keluar dari kapel dengan sebelumnya menerima percikan air suci. Ternyata, umat pun diperkenankan maju untuk menerima percikan air suci… Wah… sulit rasanya menggambarkan apa yang saya rasakan. Rasanya seolah-olah Tangan Tuhan sendiri tengah menyentuh saya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang… Rasanya damaiiiiii sekali…
Yang juga sangat menyenangkan di Rawaseneng adalah keakraban yang timbul bersama tamu-tamu lain yang datang. Sejak kami pertama datang, kami merasa sambutan sesama pengunjung luar biasa ramahnya! Bila berpapasan, tidak ada dagu yang terangkat tinggi atau muka yang berpaling dengan wajah dingin. Semua saling berhenti sejenak, memberi jalan, dan menanyakan kabar. Karena hari itu adalah suasana Natal dan Tahun Baru, maka ucapan “Selamat Natal dan Tahun Baru” ramai terdengar. Ini beda sekali dengan suasana bila kita menginap di hotel atau tempat penginapan lainnya.
Di sela-sela waktu makan, kami pun bertukar cerita. Pengunjung rata-rata berasal dari pulau Jawa, entah Jakarta, Jawa Barat, ataupun Jawa Timur. Pada saat itu, kamilah pengunjung terjauh, yakni dari Pekanbaru, Riau. Mereka pun datang dengan berbagai alasan, ada yang bersyukur untuk ulang tahun perkawinan, ada yang memang ingin memperkenalkan cara hidup sederhana pada anak-anak mereka, dan ada juga menjadikan kunjungan ke Rawaseneng ini kegiatan rutin, setiap Natal merayakannya di Rawaseneng.
Hari Minggu, tanggal 3 Januari 2010, kami harus mengakhiri “retret” kami di Rawaseneng. Sungguh dua hari yang sangat berharga, tidak hanya secara fisik saja, tetapi terlebih untuk bathin kami. Secara fisik, harus saya akui, saya yang biasanya susah makan, jadi sering krucuk-krucuk di situ. Padahal makanan yang disajikan “hanyalah” tumis-tumisan, seperti tumis pepaya muda, atau tumis kacang panjang dengan telur dadar, misalnya. Namun, porsi makan saya meningkat tiga kali lipat… hahahaha….
Secara rohani, tentu sulit saya mengukurnya, namun saya berharap, semoga Tangan Tuhan menyembuhkan kelemahan-kelemahan saya dan menuntun saya dan keluarga dalam menjalani kehidupan. Amin!
Kami berpamitan, pada teman-teman yang masih tinggal, dan juga pada Frater Blasius, OCSO. Dan, psst… kami malah dibawakan oleh-oleh berupa dua kaleng kue kering; kue coklat dan kestengels! Horeee!!!
Selamat tinggal Rawaseneng, semoga suatu saat bisa bertemu lagi! Berkah Dalem!
Pekanbaru, 4 Januari 2010 ,Agnes Bemoe & Ch. Mulyani
oleh Hidup Baru pada 18 Juli 2011 jam 9:45
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar