Kami pasangan suami istri Octavianus Indra Kurniawan dan Theresia Nurcahyani. Kami menikah pada 24 Agustus 2003 saat usia kami 27 tahun. Kami telah memiliki seorang putra yang lahir pada 3Agustus 2006. Kami dari paroki St. Aloysius Gonzaga, Cijantung, Jakarta Timur.
Kelihatannya sederhana, menikah lalu anak. Namun untuk memperoleh keturunan bagi kami tidaklah sesederhana itu. Walaupun mungkin bagi sebagian orang 3 tahun bukanlah waktu yang panjang, tapi bagi kami rasanya lama sekali.
Beberapa bulan sebelum kami menikah, saya menjalani laparaskopi karena terdapat kista pada kedua ovarium saya. Dokter kandungan tersebut mengatakan bila tidak dilakukan tindakan tersebut akan mengganggu dan mempersulit kehamilan. Karena memang saya sering merasa nyeri perut terutama pada saat datang bulan.
Setelah menikah, saya tak kunjung hamil. Lalu saya konsultasi ke dokter kandungan, oleh dokter tersebut, dilakukan beberapa pemeriksaan antara lain Ultrasonografi (USG), pemeriksaan hormon reproduksi juga radiologi Histeosalpingografi (HSG). Semua hasilnya baik dan tidak terdapat kelainan. Dokter menyarankan suami saya untuk konsultasi ke dokter andrologi yang khusus menangani masalah organ reproduksi pria.
Ternyata pada testis suami saya terdapat varises atau varikokel. Memang sebelumnya suami saya sering mengeluh nyeri perut bagian bawah dan ternyata hal itu disebabkan adanya varises pada testisnya. Karena pembuluh darah yang melebar tersebut mengakibatkan jumlah dan mutu sperma yang dihasilkan menjadi sedikit dan tidak sempurna sehingga menyababkan kami sulit memperoleh keturunan. Dokter menyarankan agar segera dilakukan tindakan operasi untuk mengatasi varikokel tersebut karena bila tidak segera dioperasi maka kemungkinan kami untuk mempunyai anak akan sangat sulit sekali. Sedangkan bila hanya dengan terapi obat-obatan hanya akan membuang waktu dan uang karena akar permasalahannya tidak diatasi lebih dahulu.
Suami saya sangat tertekan sekali menghadapi kenyataan itu karena ternyata penyebab kami sulit memiliki anak adalah dirinya. Saya juga merasakan hal yang sama tapi mungkin saya lebih siap mendengar pernyataan dokter itu. Mengapa demikian? Karena sebelum kami menikah, kami melakukan beberapa macam pemeriksaan laboraturium. Profesi saya sebagai analis laboraturium memungkinkan saya untuk memeriksa sendiri sperma suami saya. Saya melihat di bawah mikroskop, sel sperma yang ada sangat jarang sekali, kalaupun ada hanya beberapa sel saja, itu pun sel-sel yang abnormal. Pergerakannya lambat bahkan banyak yang tidak bergerak. Saya tahu bahwa dengan kondisi sperma yang demikian sangat kecil kemungkinan untuk terjadi prosas pembuahan. Tapi hal itu memang saya rahasiakan dari dirinya. Saya terpaksa berdusta padanya ketika dia menanyakan hasil laboraturium pemeriksaan spermanya. Saya katakan hasilnya bagus, normal. Padahal dalam hati saya cemas sekali memikirkan masa depan kami bila menikah nanti dan tidak mempunyai anak. Tapi saya sangat mencintainya dan tidak ingin karena masalah ini kami batal menikah. Prinsip saya, menikah tidak semata-mata hanya ingin memiliki anak.
Setelah kami konsultasi dengan dokter andrologi, akhirnya suami saya tahu kondisi dirinya, suami saya juga bertanya apakah saya menyesal menikah dengannya. Saya katakan tidak, karena sebelum kami menikah saya sudah tahu kemungkinan apa yang akan saya hadapi. Lalu saya ceritakan semua padanya tentang pemeriksaan spermanya waktu itu.
Kemudian suami saya menjalani operasi varikokel pada awal Mei 2004. Setelah operasi dilakukan terapi dengan obat-obatan selama 3 bulan. Setelah 3 bulan berlalu dilakukan pemeriksaan sperma kembali, ternyata hasilnya sama sekali tidak ada perubahan bahkan bisa dikatakan makin menurun dari sebelum operasi. Shock kami mendengarnya. Karena kami sangat berharap sekali dengan operasi semua beres, ternyata tidak. Dari hasil USG, ternyata masih ada varikokel yang lainnya yang harus dilakukan operasi kembali. Jelas hal ini membuat kami stress. Bagaimana bila operasi kedua gagal lagi?
Kami pun beberapa kali konsultasi kepada Romo Rochadi Widargo, PR pastor yang memberkati pernikahan kami. Kami didoakan dan beliau mengatakan "itu kan kata dokter tapi kata Tuhan kan lain." Kata-katanya sederhana namun membuat kami menjadi tenang karena kami jadi memiliki harapan kembali.
Kami pun beralih kepada pengobatan alternatif, mulai dari orang pintar, tabib, dukun, pijat refleksi, pijat tradisional, dan paranormal semua kami datangi untuk mengatasi masalah kami, namun semua tidak membuahkan hasil. Sampai kami lelah pergi ke sana–ke mari. Entah sudah berapa banyak uang yang kami keluarkan dan juga waktu yang tersita untuk menjalani semuanya itu.
Awal tahun 2005 kami berhenti total dari pengobatan semuanya selain kami merasa jenuh dan lelah, kami juga sedang proses membangun rumah sehingga dana yang ada terfokus untuk membangun rumah.
Pada pertengahan Mei 2005, seorang teman saya yang juga bekerja di rumah sakit di mana saya bekerja mengajak kami pergi ke Lembah Karmel, Cikanyere untuk misa Pentakosta. Karena kami belum pernah ke Lembah Karmel maka dengan senang hati kami ikut. Awal bulan juli 2005 dia juga mengajak kami Retret Awal. Sejak pertama hadir di Lembah Karmel pada bulan Mei 2005, Kami sudah jatuh hati pada tempat itu sehingga tanpa pikir panjang kami mengiyakan ajakannya.
Ketika mengikuti retret tersebut ada waktu khusus untuk sharing dengan beberapa frater dan suster di sana. Kami juga menggunakan kesempatan itu untuk sharing masalah kami. Kami mengungkapkan semua persoalan yang kami hadapi kepada frater Giovanni seorang frater yang berasal dari negeri tetangga, Malaysia. Betapa kami jadi minder dan rendah diri karena belum memiliki anak. Karena kapan pun dan di mana pun semua orang yang kami jumpai tak pernah berhenti menanyakan kapan kami punya momongan. Hal ini membuat kami jadi menarik diri dari pergaulan karena kami takut akan pertanyaan orang–orang tentang anak. Apalagi bila ada teman atau kerabat yang hamil atau melahirkan rasanya saya jadi sakit hati sekali. Bahkan saya jadi benci bila melihat orang hamil. Karena saya jadi iri kepada mereka. Kenapa bukan saya? Dalam berdoa pun saya sempat protes kepada Tuhan. Bunda Maria saja yang tidak bersuami bisa hamil, kenapa saya yang bersuami tidak bisa hamil? Suami saya pun sempat marah kepada Tuhan. Kenapa Tuhan tidak adil? Banyak orang bisa hamil padahal belum tentu orang tersebut benar-benar menginginkan anak. Bahkan banyak bayi-bayi setelah dilahirkan dibuang atau digugurkan saat masih dalam kandungan.
Semua yang dikatakannya sangat mengesankan buat kami berdua dan membuat kami mempunyai harapan baru. Kata-katanya lembut merasuk ke dalam hati kami. Memberi pencerahan buat kami.Dan selain itu mengubah cara pandang kami tentang apa yang selama ini menjadi beban buat kami. Jika dulu dalam doa kami memohon untuk diberikan keturunan, yang seakan memaksa Tuhan mengabulkan doa kami. Tetapi setelah kami retret, doa kami berubah menjadi doa yang lebih pasrah pada kehendak Tuhan dan memohon apa pun yang terjadi pada kami, kami dapat menerima dengan hati yang ikhlas. Dan membuat kami tidak takut lagi untuk membuka diri.
Bulan Desember 2005, kami berdua mengikuti retret penyembuhan Luka Batin. Kami sungguh dapat memperoleh penyembuhan dari segala luka-luka batin kami. Karena dengan mengampuni kami menjadi lebih damai. Kami jadi dapat menerima orang lain yang menyakiti kami dengan hati terbuka.
Beberapa hari setelah retret tersebut, di paroki kami ada pengakuan dosa untuk menyambut Natal. Dan saya mengaku dosa kepada Romo Rochadi, PR, yang kebetulan menjadi pastor tamu untuk membantu pengakuan dosa karena banyaknya umat yang mengaku dosa sedangkan di paroki kami hanya ada dua pastor. Sebelum mengaku dosa, beliau sempat bertanya pada saya, apakah saya hamil? Saya tidak menanggapi serius karena saya pikir beliau hanya berbasa-basi. Tetapi saya jadi memikirkan kata-katanya. Keesokan harinya saya memeriksakan urine saya di laboratorium tempat saya bekerja. Saya tidak berani melihat test pack-nya. Saya takut akan seperti biasanya. Karena seringkali jika perkiraan terlambat datang bulan, saya iseng-iseng periksa urin dan berkali pula hasilnya selalu negatif.
Sungguh di luar dugaan, ternyata hasilnya positif! Saya sangat tidak percaya. Sampai rasanya jantung ini melompat keluar karena kegirangan. Karena memang menurut perhitungan belum bisa dikatakan terlambat datang bulan. Saya sampai tidak tahu apa yang harus saya lakukan, karena saya memeriksa sendiri urine saya dan saya sendirian melihat hasilnya. Bahkan saya tidak berani cerita pada suami saya. Saya khawatir bila ternyata hasil tersebut adalah positif palsu.
Namun akhirnya saya cerita kepada suami saya tetapi saya berpesan supaya jangan terlalu gembira dulu sebelum ada pernyataan dari dokter kandungan. Besoknya saya ke dokter kandungan sendirian, saya tidak mengajak suami saya karena khawatir hasilnya mengecewakannya. Ternyata dokter kandungan yang memeriksa saya menyatakan saya sungguh-sungguh hamil.
Saya menjalani masa kehamilan tersebut dengan penuh sukacita. Walau banyak kendala saya hadapi. Setiap bulan saya memeriksakan diri ke dokter kandungan. Awal kehamilan ketika menginjak usia dua bulan saya mengalami flek dan diberi obat penguat kandungan.
Dokter kandungan sudah memberi informasi kalau letak plasentanya menutupi jalan lahir sehingga kemungkinan bila sampai trismester ketiga tidak ada perubahan letak plasentanya maka saya harus menjalani operasi sesar. Dan dengan adanya plasenta previa ini rentan terjadi pendarahan. Dan dikhawatirkan terjadi kelahiran prematur. Usia kehamilan 5 bulan, saya mengalami flek lagi dan harus bedrest selama seminggu di rumah.
Beberapa hari setelah mengadakan acara tujuh bulanan, saya terserempet motor. Puji Tuhan tidak terjadi apa-apa. Menginjak usia kehamilan 8 bulan saat pagi buta ketika saya buang air kecil ternyata bukan hanya urine yang keluar tetapi darah ikut mengalir keluar, saya panik. Dan kami cepat-cepat pergi ke rumah sakit. Saya harus bedrest selama satu minggu di rumah sakit.
Setelah pulang dari rumah sakit beberapa hari kemudian, suatu sore ketika saya bangun tidur ternyata saya mengalami pendarahan lagi. Karena sebelumnya sudah mengalami hal ini, saya tidak terlalu panik. Kami lalu pergi ke rumah sakit. Kali ini saya harus bedrest total sampai menjelang kelahiran. Diinfus untuk menahan agar tidak terjadi kontraksi karena khawatir terjadi kelahiran prematur. Tetapi saya juga disuntik obat untuk mematangkan paru-paru bayi dalam kandungan, berjaga-jaga seandainya bayi saya harus dilahirkan sebelum waktunya. Setiap hari harus di-kardiotokografi (CTG) untuk merekam kontraksi dan detak jantung bayi. Perawat setiap 3 kali sehari memeriksa detak jantung bayi saya dalam kandungan.
Menurut perhitungan, saya melahirkan tanggal 23 Agustus 2006, tetapi karena kondisi saya demikian akhirnya diputuskan saya melahirkan tanggal 3 Agustus 2006 melalui operasi sesar karena plasenta previa totalis. Semua berjalan lancar, walau sayabedrest di rumah sakit hampir sebulan karena kontraksi dan pendarahan.
Kami memberi nama putra kami Michael Samuel Giovani Putra Kurniawan. Michael adalah salah satu dari malaikat agung, karena putera kami adalah malaikat buat kami berdua. Dan nama Samuel yang artinya anak yang diminta dari Tuhan. Saya pernah berjanji dalam hati jika saya mempunyai anak akan diberi nama Samuel. Kami sengaja memakai nama Giovani untuk mengingatkan kami pada frater Giovani yang telah memberikan pencerahan buat kami dan juga sebagai ucapan terima kasih kami padanya. Walau sampai saat ini kami belum meminta ijinnya dan belum menceritakan anugerah yang diberikan Tuhan buat kami. Karena ketika kami retret bulan Desember 2005 beliau sudah tidak berada di Lembah Karmel, Cikanyere tetapi di Tumpang Malang.
Tulisan ini saya buat sebagai ucapan terima kasih kami kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang tidak pernah meninggalkan kami dalam kesulitan apa pun. Dan juga ucapan terima kasih kami kepada Romo Yohanes Indrakusuma, O.Carm, para suster Putri Karmel dan para frater CSE yang telah membantu kami dengan doa-doanya.
Kesaksian ditulis oleh Octavianus Indra Kurniawan dan Theresia Nurcahyani
Sumber: http://www.carmelia.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar