oleh Yosafat Ivo Ofm Cap pada 11 Oktober 2011 jam 20:01
Baru akhir-akhir ini saya menyadari bahwa ada sesuatu yang menarik dan istimewa di Gereja setiap hari Minggu, dan rasa istimewa itu berobah menjadi keharuan dan kekaguman setelah saya bersua dan bersharing dengan mereka.
Pasangan suami isteri yang relatif masih muda inilah yang menunjukkan betapa cinta itu memang harus diuji, khususnya untuk sang isteri, namanya Claren. Betapa tidak, ia harus bertanggung jawab akan keluarganya seorang diri, dan ia juga yang harus memperhatikan suaminya yang mendapat kena serangan stroke sekitar lima tahun yang lalu yang menyebabkan badannya lumpuh dan tangannya tidak bisa berfungsi dengan baik.
Setiap hari Minggu, Claren dengan setia dan tanpa malu dan gengsi mendorong suaminya yang hanya bisa duduk di kursi roda ke Gereja dan mengambil tempat paling akhir . Pemandangan yang sangat menyentuh pun nyata saat komuni ke depan, Claren mendorong suaminya yang duduk di kursi menyambut komuni. Cinta mengalahkan semua rasa malu, komitmen menyisihkan rasa gengsi, dan Yesus dalam Ekaristi Kudus memberi semangat sejati untuknya.
Dalam kekaguman dan keharuan, saya sapa Claren sehabis Ekaristi, “Biar saya yang datang ke belakang untuk memberi komuni untuk suamimu dan untukmu. Kamu tidak usah capek-capek datang ke depan.” Di sinilah muncul kembali rasa kagumku. Ia menuturkan, “Pastor saya bangga mendorong suamiku yang duduk dalam kursi roda ini menyambut ke depan. 15 tahun yang lalu kami bersimpul di depan altar yang sama, saat menikah. Saat itu kami berjanji sehidup semati, dalam suka dan duka.
Kalau dulu kami bersimpul di altar dalam keadaan sehat, kini saya mendatangi altar Tuhan, dalam rangka komuni dengan situasi yang berbeda, suamiku menderita stroke. Kalau saat pemberkatan nikah dulu, kursi pengantin dihiasi begitu indah dan semarak, sekarang kursi roda yang digunakan oleh suami saya “dihiasi” cintaku, kesetiaanku dan komitmenku yang selalu menemaninya. Setiap datang ke depan (altar), kami selalu mengenang saat indah dan penuh sejarah itu. Kami selalu mengingat momen spesial itu.
Saudara-I terkasi, dan teman-teman sekalian. Cinta memang tetap diuji setiap saat, komitmen memang harus dimurnikan, dan janji itu juga harus diperbaharui. Claren telah mengalami ini sekurang-kurang dalam masa-masa sulit. Lima tahun ia telah mendorong suaminya yang harus meringkuk dalam kursi roda dan kita tidak tahu berapa tahun lagi ia harus melakukan yang sama. Namun saya yakin akan cinta, komitmen dan janjinya yang telah dituturkannya?
Semoga kita mampu seperti ibu Claren. Semoga kita tetap menunjukkan cinta, komitmen dan janji itu dalam keadaan dan situasi apapun. Ini berlaku bukan hanya dalam perkawinan, namun juga dalam persahabatan dan bahkan dalam kepercayaan yang kita imani. Buatlah cinta itu berbuah kemanisan, komitmen itu menghasilkan kegembiraan dan janji itu mendatangkan suka cita abadi. GBU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar