Saat Hidup tidak lagi bersahabat dengan kita... Tetap lah "pegang erat Tangan Tuhan" Jangan pernah kau berpaling dari NYA, sebab TUHAN lah sumber pertolongan kita kemarin, hari ini , besok dan untuk selama-lama nya...

Sabtu, 24 September 2011

Spesial Di MataNya

oleh Silvinus Sapomo pada 20 September 2011 jam 19:35

We are called by God from our sins and weaknesess.
We are called to the one hope of our calling,
one Lord, one faith, one baptism, one God and Father of all.
It can be happened in our life because of intervention of God’s spirit.
St. Paul in the first reading reminds us about that and it begins and ends in the spirit.
The nature of the spirit is peace and love.
In these ways Jesus called Matthew to be his apostle.
He went beyond what the Jews saw in his life.
Jesus used his spirit, that are peace and love to call Matthew.
Jesus chose him not only what he was in life but more, what he could be.

Jesus wants to affirm us and tell us
that each one of us is special even if we have sinned in our life.
Like Matthew in the Gospel,
we are not perfect.
We are not saints.
We are ordinary people of God with our weaknesess and sins.
But in the same way, we are called to love and to serve one another.
Let us pray to the Lord, that He helps us to accept and love others as  they are.

Kita semua spesial di mataNya,
sekalipun kita lemah dan berdosa.
Sekalipun kita ini rapuh dan selalu jatuh,
Dia tahu  bahwa itu  tidak terlalu berarti bagiNya.
Yang penting adalah: menjadikan kita suci pada saatnya nanti.
Bahwa hidup kita dahulu itu jauh dari cinta dan jalan-jalanNya
itu bukanlah perhatian Tuhan yang paling utama.
Dengan  kasih dan damai Dia berharap:
Kita hidup baru dan bersatu-padu
Berkarya  bagi kemuliaanNya.

Maka, janganlah pernah menuntut orang jadi dewasa dan suci pula.
Sebab Tuhan sendiri tidak menunggu kita suci untuk datang kepadaNya.
Berdoalah untuk karya dan campur tangan Allah dalam hidup sesama kita.
Lalu gunakan sebanyak mungkin waktu untuk merubah dan melihat diri lebih dahulu.
Karena Tuhan berkenan pada hati yang rendah dan hidup yang bersahaja.
Tuhan berharap kita terus berkembang menjadi lebih baik dari hari ini.
Dia minta kita melayani sesama di tengah dosa dan kelemahan kita.


Jesus calls us not only what we were in life before
but more than that on what we could be in the future.


Spmcm

Rabu, 21 September 2011

Alasan Manusia Mencari Tuhan

oleh Silvinus Sapomo pada 22 September 2011 jam 0:39

Ada banyak alasan untuk mencari dan bertemu Tuhan.
Yang satu karena iman, yang lain karena pengetahuan.
Yang satu karena penasaran, yang lain karena ada keperluan.
Yang satu ingin tenang, yang lain mau mengeluh dan mengesah.
Hal yang sama terjadi pada orang-orang di jaman Yesus juga.
Raja Herodes punya asa yang berbeda dengan rakyat
meski mereka sama-sama mencari dan mau bertemu.

Orang biasa dan sederhana berharap hal-hal yang nyata dalam hidupnya.
Orang sakit minta disembuhkan.
Orang kelaparan minta makanan.
Orang buta minta supaya bisa melihat.
Orang lumpuh minta supaya bisa berjalan.
Orang kerasukan minta setan dikeluarkan.
Atau bisa juga minta hal-hal rohani yang lainnya.
Seorang pendosa meminta pengampunan.
Orang gelisah mohon sebuah ketenangan.
Orang ketakutan meminta keberanian.
Orang kesepian  meminta teman.
Semuanya butuh hal yang nyata.

Lain pula dengan harapan dan impian dari sekelompok manusia lainnya.
Orang pandai mengharapkan pengetahuan.
Orang kaya tetap mengharapkan kemakmuran.
Orang berkuasa meminta lenggengnya jabatan.
Orang yang jadi pemimpin memohon kewibawaan.
Apakah itu salah atau benar, sulit untuk dinilai.
Akan tetapi Tuhan sendiri tahu maksudnya itu.
Sama  seperti Yesus tahu maksud Herodes.

Apa alasan kita bertemu dan bertamu dengan Tuhan?
Apa keperluan kita mencari dan menemui Dia?
Dalam  satu kepala saja ada ribuan gagasan.
Dan dalam satu hati ada jutaan perasaan.
Tapi dari semuanya itu Tuhan tahu semuanya.
Maka, saya meminta kita semua terbuka saja.
Persoalan hidup ini terlalu berat bagi kita.
Kita perlu Tuhan dan sesama untuk berbagi.
Entah apapun alasan kita untuk berjumpa Dia,
Berilah  kesempatan bagiNya untuk memurnikannya.


Carilah Tuhan sejauh kita mampu mengenalNya.
Lebih dari itu, Dialah yang akan menemukan kita.


Spmcm


Kamis, 22 September 2011

Tuhan Tak Pernah Mengeluh

oleh Silvinus Sapomo pada 23 September 2011 jam 18:45
 
There is a tendency today for many Christian life especially from denomination churches
to focus on the risen Lord rather than on the crucified Christ.
Perhaps we often hear other Christian describing themselves as easter people or something like that.
Through the holy gospel today
Luke insists that the greatest thing in our faith is the death of Christ on the cross.
In his second prediction Jesus solemnly announces that
he will be handed over into the power of humans.
But his disciples were not ready yet for this.
They did not understand what Jesus was saying.
It was hidden from them and they could not see it.
At the same time they were affraid to ask him.

The cross is a stumbling block for many of us.
Often when we approeach it we either trip and fall or we choose to avoid or ignore it.
it is not is easy for us to take up the cross.
However, our call to be Christian, in the catholic church,
is a call to embrace the cross and to discover its rich meaning for our lives.
Only in embracing the cross we can experience the full meaning and power of the ressurection.
We are the new disciples of the Lord today.
Let us keep our faith and believe in him who was died on the cross to save us.
It is important for us to keep in our mind that
there is no resurrection without pain, suffering
and he opened his arms on the cross for our sake.
Let us give thank to the Lord
for the graces we have received and also for the cross we are taking up in our life.

Tak ada kebangkitan yang mulia tanpa luka, sengsara dan derita.
Tak ada kebahagiaan tanpa kesedihan dan duka sebelumnya.
Tak ada kehidupan tanpa ada pengorbanan dan bahkan kematian.
Itu semua menjadi bermakna ketika kita tahu arti salib Putera Bapa.

Menang sangat tidak mudah untuk bisa menerima ini semua.
Sama seperti para rasul yang tak bisa mengerti akan perkataan Tuhan sendiri.
Tapi akan tiba saatnya ketika bibir kita akan diam terkatub menyaksikan itu semua.
Akan tiba waktunya kita diam seribu bahasa atas aneka fakta hidup yang harus kita terima.
Akan datang harinya ketika Tuhan membuktikan kekuatan ilahiNya dalam kerapuhan kita sebaga manusia.
Pada saat itu hendaknya kita berterima kasih atas teladan salib Tuhan dalam kehidupan ini.
Kita  mensyukuri iman yang telah kita hayati sebagai konsekwensi dari  pemuridan.
Kita  percaya bahwa di dalam segala situasi hidup, Tuhan selalu bersama kita.
Menolak salib berarti menolak rahmat keabadian dari Tuhan.


Tuhan tak pernah mengeluh ketika menderita supaya aku bahagia di surga.
Maka akupun berusaha untuk begitu bila saat yang sama tiba dalam hidupku.


Spmcm


Sabtu, 24 September 2011

Mutiara Di Dalam Limbah

oleh Silvinus Sapomo pada 08 September 2011 jam 1:57
Selasa, 16 Agustus 2011, saya mengawali patroli pertama yang sempat tertunda sepekan karena mesin dinghy yang rusak. Hari ini saya pergi bersama Sr. Beata DW, Sr. Imelda MSC dan Sr. Maryline MSC. Kedua suster yang terakhir akan mengadakan pembinaan untuk guru-guru sekolah dasar di kampung pertama tempat patroli kami, yaitu Joot. Dari kampung ini saya dan Sr. Beata bersama dengan satu pastoral agent yang akan menyusul kemudian meneruskan patroli ke delapan kampung yang lain. Tulisan ini saya berikan sebagai panorama singkat perjalanan saya selama 20 hari patroli menyusuri Fly River, menjumpai umat dan melayani mereka dalam aneka kebutuhan dan kesulitan yang mereka hadapi di sana.

Deru mesin Yamaha 40 PK memecah keheningan sungai. Ia membawa kami meninggalkan Kiunga, menyajikan pemandangan kiri-kanan yang mengering gersang, membelah air yang terkontaminasi limbah dan seolah-olah mengajak saya untuk berkenalan pada dunia baru: inilah parokimu. Hanya satu yang indah. Hanya satu yang bagus untuk dipandang mata: yakni cakrawala Papua New Guinea yang membentang cerah, kilau kemilau bak cahaya yang memancar dari surga. Aku suka memandangnya. Ia mampu menghibur kegalauan hatiku karena melihat alam yang rusak karena kerakusan para pendatang di bumi kasuwari ini. Setelah hampir dua jam di atas dinghy, kami sampai di kampung Katawim untuk menjemput dua guru yang akan ikut training. Ini kampung pengungsi dari Papua Barat yang terbesar di sepanjang border. Selanjutnya kami ke kampung Erecta, kampung lokal yang masuk lewat anak sungai Fly, tapi tak ada guru di sini. Maka kami kembali melanjutkan perjalanan dan tiba di kampung Joot jam dua siang. Di sini umat sudah berjejer menunggu di pinggir sungai.

Joot
Sore itu angin bertiup kencang. Segar rasanya. Aku tengah membuka kelapa muda pemberian umat juga. Tiba-tiba raungan klakson kapal dari sungai membuat semua penghuni kampung berlarian ke pantai. Ibu-ibu lari dengan menggendong anak-anaknya. Bapak-bapak berteriak dengan bahasa yang tak kuketahui  artinya. Ada pula para pemuda yang cepat-cepat memanjat pinang dan kelapa. Aku kira ada apa sampai mereka begitu? Rupanya klakson kapal itu adalah pertanda bahwa mereka datang untuk transaksi barter barang. Orang kampung membawa pinang dan kelapa untuk ditukar dengan sembako dari kapal barang. Sebuah transaksi jual-beli alami terjadi antara mereka yang saling membutuhkan. Umat di kampung ini hidup dari alam. Untuk kebutuhan lain mereka hanya bisa berharap dari kapal yang melintas di sungai. Terlalu mahal dan jauh untuk datang dan belanja di kota Kiunga. Mereka adalah para pengungsi dari Papua Barat juga. Mereka lari dan ‘benci’ dengan pemerintah Indonesia yang memperlakukan mereka semena-mena. Meski mereka tidak juga bisa hidup layak di kampung pengungsian, tapi mereka merasa bebas dari penindasan. Hari ini tepat tanggal 17 agustus untuk memperingati kemerdakaan Indonesia. Dalam hati, aku meminta maaf kepada negeriku. “Maaf, Indonesia, aku tidak bisa merayakan hari jadimu sementara aku berada di tengah umat yang sakit hati kepadamu.” Aku hanya berdoa dalam hati saja sebab tak mungkin menyebutnya dalam perayaan Ekaristi sore hari ini. Mereka menerimaku dengan ramah sebagai pastor, sebagai orang kalimantan dan bukan sebagai orang Indonesia apalagi orang jawa. Sebab mereka membenci tentara yang mereka tahu kebanyakan orang jawa.

Kuiu
Dinghy belum merapat ke pantai. Namun umat, ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak sudah berdiri di sana. Mereka menyambut kami dengan ramah. Semua barang segera terangkat di atas bahu-bahu yang kurus dan wajah yang kumus-kumus. Tentu bukan kurus dan kumus yang menjadi fokus. Melainkan semangat mereka yang luar biasa membawa apa saja yang mereka bisa. Mereka kurus dan kumus karena jadi korban. Mereka menjadi korban bencana banjir, korban politik dan korban ekonomi juga. Mereka mengungsi dari Papua Barat akibat kekerasan TNI yang menyerang kampung mereka. Mereka hanya bertahan di tanah rendah di pinggir Fly River. Setiap kali banjir akibat penambangan emas OK Tedi, mereka kehilangan segalanya. Rumah-rumah rusak. Ternak hanyut. Kebun hancur. Kolam dan sumur kotor. Bahkan sagu di rawa-rawa jadi layu dan mati begitu saja. Pasca banjir mereka selalu mulai lagi dari nol. Maka kedatangan kami jadi seperti penghibur bagi duka mereka. Dengan mereka kami duduk dan ngobrol bersama, masak dan makan bersama. Pada malam hari kami memutar DVD film Musa untuk mereka. Umat sekampung yang jumlahnya ratusan fokus pada layar TV kecil dan buram. Mereka semangat sekali menonton sementara nyamuk-nyamuk malam menggigit dan menaburkan benih malaria di dalam tubuh mereka. Itulah hiburan mereka. Tak jauh dari tempat itu, aku sendiri asyik mendengarkan cerita bapak tua eks tentara OPM di beranda rumahnya.

Mapruam
Satu kampung kecil di pinggir Sungai Fly yang dihuni sekitar 20 KK. Nasibnya sama dengan Kuiu. Kemarau membawa bencana dan musim hujan tak ada bedanya. Untuk mencari air minum harus masuk hutan sejam lamanya. Waktu patrol ini memang di musim kemarau. Umat hanya mengharapkan air dari tandon besar milik gereja, karena sungai Fly tercemar logam berat luar biasa. Kedatangan kami malah membuat mereka bingung memikirkan di mana tempat mandi. Tapi tidak dengan diriku. Aku menanyakan tempat di mana mereka biasa mandi. Lalu mereka menunjukkan sumur kecil. Dan rupanya itu bukan sumur, tapi lebih mirip kubangan di rawa yang masih tergenang air. Any way, no choice. That’s their life and I should be like them. Aku mandi di situ dengan dua kali kerja: mengumpulkan air itu di ember lalu menyiramnya ke tubuhku pula. Mereka tak terbiasa membuat sumur. Tepatnya bukan tak biasa, tapi soal pemahaman, pengetahuan dan pendidikan. Anak-anak di sini tidak belajar, karena memang tidak ada guru dan sekolah. Meski begitu mereka penuh semangat. Selama dua kali misa mereka menyiapkan perayaan liturgi dengan baik. Aku terharu karena mereka bernyanyi penuh semangat dengan madah bakti lama yang sudah tidak ada bentuknya. Satu buku untuk empat orang. Mereka memuji Tuhan dalam keterbatasan dan kesederhanaan yang tak sedikitpun mempengaruhi semangat dan iman mereka. Sungguh luar biasa kuasa Tuhan dalam hidup mereka.

Memeyop
Sore itu Telaga Bandika menunjukkan pesonanya. Dia menyambut kedatangan kami dengan daya pikatnya. Dinghy berjalan tenang, karena aku meminta skipper melakukannya. Air terus mengering. Ikan gastor berloncatan di kiri-kanan perahu kami. Aku tanya, apa itu gastor? Rupanya gabus toraja. Ah, yang benar saja, kataku. Di seluruh wilayah di Indonesia ikan jenis itu namanya gabus semua. Beberapa kali kura-kura muncul ke permukaan. Kata skipper, dia sedang mengambil udara segar. Ada-ada saja, pikirku dalam hati. Perahu kami merapat ke kampung di pinggir danau. Umat menyambut kami dengan gembira. Acara resmi di kampung ini sama dengan di kampung yang lain, yakni misa, kunjungan umat, sosialisasi lembar evaluasi dari keuskupan lalu mendengarkan aneka masukan dan kebutuhan mereka. Yang beda adalah alam dan keceriaan anak-anak mereka. Kampung dibangun di atas ketinggian menghadap ke danau. Setiap saat udara segar menghadirkan kenyamanan dan kesejukan. Aku betah sekali menikmati indahnya danau seraya sekali-sekali bermain dengan anak-anak. Suatu sore dua anak mengajak saya memanah ikan di kali pinggir danau. Baru setengah jam di sana sudah dapat beberapa ekor lele dan mujaer. Keasyikan kami diganggu dengan datangnya segerombolan anak perempuan. Mereka ingin bergabung juga. Yang satu mengusir mereka karena mereka berdua telanjang. Tapi karena ada aku, anak-anak perempuan itu tetap mendekat. Itu memaksa mereka mengenakan celananya. Mereka asyik menikmati mangga hutan mentah yang ada di pinggir kali. Aku coba sedikit saja, karena kecut sekali rasanya. Lalu kami pulang sambil berlarian dan kejar-kejaran di rawa. Tingginya tumbuhan perdu membuat kami berloncatan seperti kijang yang menikmati kebebasannya.

Kukuzaba
Ini kampung lokal yang unik. Nama lainnya Gimbagayib yang berarti kepala ikan busuk. Karena nama itu jelek, lalu diganti dengan Kukuzaba. Artinya? Tidak ada yang tahu. Lucu, bukan? Kukuzaba, satu kampung dengan lima bahasa: Motu, Pidgin, Inggris, Marin dan Malay. Yang terakhir itu sama aja dengan melayu atau bahasa Indonesia. Menurutku bukan melayu atau bahasa Indonesia, tapi Broken Malay. Semua bahasa itu bisa dipakai di sini. Sebagian besar penduduk adalah petani karet. Tapi tidak seperti di Indonesia atau Malaysia. Mereka di sini hanya menyadap karet bila mereka butuh uang cepat saja. Sehari-hari mereka lebih banyak di rumah. Meskipun begitu, Gereja di kampung ini memprihatinkan. Bukan bangunannya, tapi semangat umatnya. Kedatangan kami hanya diterima beberapa ibu dan anak-anak. Sedang para pemuda hanya duduk-duduk di bawah pohon saja. Saking jengkelnya, sambil memikul barang dan lewat di samping mereka, aku bertanya langsung: “Are you all Catholic?” Dan ketika mereka menjawab ‘ya’, aku minta mereka membantu anak-anak dan ibu-ibu mengangkat barang juga. Perayaan Ekaristi selama dua hari hanya dihadiri beberapa orang saja. Pemimpin umat menanyakan pada saya, apakah kita tetap misa atau batal saja? Saya berkata, sebagai imam saya misa tiap hari. Jadi, ada umat atau tidak, saya tetap akan misa. Mendengar itu dia segera mengajak beberapa orang yg sudah ada di sekitar gereja untuk masuk dan kami tetap misa. Pengalaman ini mengingatkan saya pada nasihat rohani Santo Vinsensius: “Meski di tempat itu hanya ada satu jiwa untuk diselamatkan, misi harus tetap dikerjakan.”  

Membok
Satu lagi kampung lokal yang menyedihkan secara rohani. Gereja merana dan sekolahnya juga. Umatnya banyak sekali. Hampir semuanya Katolik. Anehnya, ketua dengan kampung dan aneka kepengurusan dipegang oleh orang yang beragama Kristen, United Church. Awalnya ketika menuju kampung ini aku senang sekali. Air sungai Bingge tenang dan bersih. Ikannya juga banyak. Burung-burung besar mencari ikan di pinggir sungai. Aku berburu dengan senapan angin milik skiper, tapi tidak ada hasil. Mengapa? Pertama, karena memang tidak bisa menembak. Kedua, peluru senapan angin mana mungkin bisa mematikan burung yang besarnya dua kali ayam jantan. Kalaupun kena, paling-paling hanya membuat tubuhnya gatal saja. Kembali ke cerita kampung membok. Dalam pertemuan dengan semua pemuka umat, para pria banyak sekali bicara. Usul, saran dan kritikan macam-macam. Mereka bercerita banyak soal misi masa lalu dan pentingnya membuat paroki baru di kampung ini. Tapi, mereka sendiri tidak pernah terlibat dan ikut ibadat pada hari Minggu. Kedatangan kamipun tidak awalnya tidak mereka ketahui. Padahal jadwal sudah diedarkan jauh-jauh hari. Rupanya, yang banyak bicara itu adalah guru. Primary School milik misi Katolik di sini sepertinya tidak memberi kontribusi bagi Gereja. Mereka tidak terlibat dalam aktivitas Gereja. Kalau musim kemarau, para murid disuruh pulang ke kampung-kampung mereka, karena tidak ada air. Kepada anak asrama saya bertanya, kenapa kalian tidak membuat sumur? Mereka menjawab, kami ada sumur, pastor, tapi airnya habis. Tanya saya lagi, berapa meter dalamnya? Mereka menjawab dengan mengukur lengannya, segini, pastor. Pikirku, pantas saja. Sumur, koq dalamnya cuma sedalam lengan tangan. Lalu aku meminta mereka untuk membuat sumur itu paling tidak sepuluh kali panjangnya dari lengan mereka. Apa reaksi mereka? Itu nanti jadi lubang toilet, pastor. Oh my God...dan itu benar. Kalau saya melihat toilet mereka semuanya dalam-dalam. Unik dan sungguh unik. Untuk sumur hanya sepanjang tangan, tapi untuk kakus dibuat sedalam-dalamnya.

Karemgo
Setelah dari Membok kami menuju Karemgo dan berjalan kaki. Ini merupakan kampung lokal juga. Awalnya hampir sama; tidak ada respek yang cukup dari umat. Kami hanya diterima Mr. Gideon, pemimpin umat yang baik hati. Kami menginap di rumah dewan kampung yang kosong. Rumahnya bersih dan sangat bersih. Saking bersihnya, sampai-sampai tak ada perabot apapun. Ketika kami mau memasak baru bingung. Tidak ada kayu api. Tidak ada periuk. Tidak ada air juga. Untung ada satu ibu janda, pengungsi asal Merauke yang peduli kepada kami. Dia membawa beras, mie dan ikan kaleng kami ke rumahnya dan dia menyediakan diri untuk memasaknya juga. Sekitar jam delapan malam, aku kaget karena mendengar suara wanita berteriak-teriak dengan bahasa lokal. Rupanya ada tok save alias woro-woro alias lagi, pengumunan. Mereka keliling dari sudut ke sudut kampung dan berteriak-teriak keras. Mereka memberitahu bahwa sore tadi pastor datang ke kampung. Maka besok semua harus datang ke gereja untuk misa jam sembilan pagi. Setelah itu ada pertemuan dengan seluruh pemuka dan pemimpin dari berbagai sektor. Dan hasilnya sungguh efektif. Pagi itu banyak umat yang datang misa. Anak-anak datang ke gereja jauh lebih banyak lagi dari orang tuanya. Sr. Beata berkata kepadaku bahwa mereka suka lihat orang baru dan rambut baru. Suster itu benar juga, sebab sore hari saya sempat bermain basket dengan anak-anak di lapangan tanah liat yang berdebu. Sambil duduk istirahat ada seorang anak yang bisu tapi ramah sekali kepadaku. Dia tertarik melihat rambut panjangku. Sekalian saja aku minta dia mencabuti beberapa uban putih yang selama ini menghiasi kepalaku.

Kaikok
Dari Karemgo kami kembali ke Membok. Sehari sesudahnya kami meneruskan perjalanan ke kampung Kaikok. Kami kembali ke kampung refugee, kampung pengungsi dari seberang sungai. Kampung lama mereka di seberang namanya Ambotweng dan berada di wilayah Indonesia. Pada tahun 80an, kampung mereka diserang tentara. Banyak anggota keluarga mereka yang mati karena dianggap anggota OPM. Maka mereka melarikan diri ke seberang sungai di wilayah PNG. Trauma itu membuat mereka tidak mau lagi kembali ke kampung lama. Kampung ini cukup besar. Hampir 100 KK jumlahnya. Ada Elementary School yang guru-gurunya juga peduli dengan Gereja. Umat sudah mempersiapkan segala sesuatu dengan baik sebelum kami sampai di sini. Perayaan Ekaristi meriah dengan tariannya juga. Pertemuan umat juga berlangsung dengan baik. Bahkan mereka meminta waktu supaya ada pelatihan khusus bagi pemimpin ibadat dan pelayan komuni. Minta waktu juga untuk pengakuan dosa. Ini sebuah kesadaran yang luar biasa dalam patroli kali ini. Hanya di sini umat sungguh-sungguh menggunakan waktunya dengan baik. Aku bersyukur kepada Tuhan, sebab di tempat yang serba sulit seperti ini, umat tetap mengutamakan iman dan hidup rohani mereka sendiri.

Erecta
Patroli kami diselamatkan oleh hujan tiga hari sebelumnya. Perlahan-lahan air naik. Jika tidak, kami tidak bisa masuk ke kampung Erecta melalui sungai. Hujan tiga hari menaikkan debit air. Hal ini membantu kami juga untuk menghemat bahan bakar. Kami bisa melewati beberapa short cut/jalan pintas sehingga jarak bisa lebih dekat. Tapi masalah tetap saja ada. Air hujan menghanyutkan sampah dan kayu-kayu besar dari kali Fly ke sungai-sungai kecil. Sejak meninggalkan Membok kami melihat air sungai Bingge yang perlahan-lahan kotor karena didesak air yang lebih banyak dari Fly River. Begitu juga di sungai Erecta. Ketika pulang meninggalkan Erecta, kami butuh waktu 15 menit untuk keluar dari hadangan gelondongan kayu-kayu besar di tengah sungai. Oh ya, aku belum cerita tentang situasi Erekcta. Malah sudah cerita soal kepulangan. Maaf, saya kembali lagi ke cerita tentang Erecta. Di sini umat tercerai-berai. Bukan hanya soal agama, tapi juga populasi dan edukasinya. Dulu kampung ini mayoritas Katolik. Tapi sekarang tinggal sedikit, karena umat dihasut oleh Gereja Kristen. Mereka menyerang aneka doktrin Gereja Katolik  seperti yang kita alami juga di Indonesia. Kampung ini cukup besar, tapi dipisahkan oleh sungai. Orang-orangnya tidak banyak yang tinggal di kampung, karena dekat dengan Kiunga. Sehari-hari mereka biasa pergi menjual hasil bumi ke kota dengan dinghy dan kano bermesin. Mereka punya fasilitas itu, sebab sebagai kampung lokal, mereka adalah tuan tanah. Mereka rutin mendapat uang dari OK Tedi sebagai ganti rugi kerusakan alam di tanah mereka. Tapi sayangnya, mereka tidak bisa mengaturnya. Uang hanya dihabiskan untuk foya-foya. Rumah mereka tetap saja seadanya. Ada banyak fasilitas umum yang dibangun OK Tedi di kampung ini. Sekolah, WC dan kamar mandi umum, sumur bor, aula pertemuan, dan lain-lain. Itu semua dulunya dilengkapi dengan listrik solar panel. Tapi sekarang semuanya terbengkalai tak ada artinya. Sekarang malah ditumbuhi rumput liar. Pintu sekolah dipaku rapat oleh dewan kampung, karena guru malas mengajar tapi tetap mau menerima gaji dari pemerintah. Sebuah situasi yang buruk, karena kemajuan teknologi tidak seiring dengan pengetahuan masyarakatnya. Sungguh, ini PR besar bagi setiap orang yang peduli pada nasib mereka.

Menyimak ulang aneka pengalaman selama tiga minggu di sembilan kampung sungguh luar biasa. Aku seperti sedang mencari mutiara iman di dalam limbah dan derita hidup mereka. Betapa tidak? Aku bersyukur setiap kali menemukan situasi di mana umat bertahan dalam iman sekalipun dunia dan hidup mereka penuh dengan kesusahan dan derita akibat limbah dan endapan sedimentasi tambang emas OK Tedi. Aku sedih dan meratap di dalam hati ketika melihat misi Gereja bagi umat lokal belum menunjukkan kemajuan meski sudah genap setengah abad. Bahkan sudah memakan korban jiwa juga. Di membok ada monumen ekor pesawat di depan sekolah. Itu adalah pesawat misi yang jatuh ke sungai dan terbakar pada tahun 90an. Fr. Butch, SMM yang juga sebagai pilot dan Sr. Pierrete, DW dan seorang bayi meninggal dunia dalam kecelakaan itu. Yang selamat hanya seorang ibu dan Fr. Gilles Cote, SMM yang sekarang menjadi Uskup Kiunga. Peristiwa ini pernah ditulis oleh Romo Mans Werang dalam bukunya dengan judul “Jatuhnya Pesawat Kami”. Mereka telah menunjukkan cintanya pada tanah misi. Namun rupanya sampai hari ini benih yang mati itu masih belum tumbuh juga. Dalam perjalanan patroli ini aku sering bercanda dengan kedua rekanku, “we are going together to proclaim the Kingdom of God, but we find here the Kingdom of DoG(s).” Ini lelucon kami yang nyata. Di setiap kampung yang kami singgahi terlalu banyak anjing. Anjing-anjing ikut tinggal dan makan di dalam rumah. Setiap pagi yang membangunkan kami adalah gonggongan dan perkelahian anjing-anjing yang memperebutkan betina mereka. Akan tetapi, tolong jangan beri perhatian pada anjingnya. Aku mengajak anda semua untuk melihat lebih dalam, yakni iman mereka. Iman yang mendesak kami untuk berusaha dan bekerja lebih keras lagi. Iman yang mendorong kami berseru dan berteriak lebih keras daripada gonggongan anjing mereka. Ini perlu supaya ‘kingdom of God’ lebih menarik daripada ‘kingdom of Dog’. Ini perlu juga untuk menemukan mutiara di antara limbah. Mutiara iman yang terkubur dan tergusur oleh limbah tambang emas OK Tedi.


spmcm

Kamis, 8 September 2011

Salib Menyatukan Kita

oleh Silvinus Sapomo pada 22 September 2011 jam 19:38
 
It is a time for us to reflect our faith of the cross communally and personaly also.
What do you think about Jesus in your life?
Who do the crowds say I am?
And then he continues, who do you say I am?
By these questions He challenges the basic of our faith.
Jesus wanted to know what opinion his disciples have formed about him
after having spent about the years with him.
To his apostles He challenged them to know him deeper.
If they fail to recognize his identity,
Jesus would consider his ministry as a failure so far.

After hearing the opinion of others,
Jesus challenges them to share their personal opinion
as a more responsible and difficult task.
Peter as always was quick to response to the question
posed and professed what the spirit revealed to him:
“You are the Christ of God.”

But Jesus insisted that his disciples be silent about his identity as the son of God
because the time had not come yet
and the disciples were not fully prepared to carry out the mission.
That is why Jesus said to them about his mission.
He had to suffer and die to liberate us
from the slavery of sin and death in order to bring us eternal life.
Today we should respond to Jesus’ question with a total surrender to him
by taking up our daily cross and follow the Christ of God
wherever the holy spirit leads us to do his will in our life.

Siapa Yesus bagiku?
Bagaimana pengenalan, pemahaman dan pengalamanku akan Dia?
Pengenalanku akan Dia menentukan relasiku denganNya.
Pemahamanku tentang Dia menentukan kualitas pengetahuanku tentangNya.
Pengalamanku bersamaNya menentukan seberapa dalam imanku kepadaNya.
Setiap orang boleh dan bisa berpendapat secara berbeda.
Setiap orang memiliki kapasitas pemahaman yang tak sama.
Setiap orang mengenalNya dari sudut pandang yang berbeda.
Setiap pribadi mengalamiNya dalam cara yang unik pula.

Namun pada akhirnya ada satu yang sama.
Bahwa kita diajak untuk mengenalnya dalam perutusan yang sama di dalam dunia.
Bahwa kita harus rela menderita dan menanggung salib bersamaNya.
Bahwa kita diutus seperti domba yang tulus ke tengah serigala yang buas, yakni dunia.
Jika kita bertahan, kita ambil bagian dalam kemuliaan bersamaNya.
Jika kita kuat, kita akan sukses memanggul salib yang berat bersamaNya.
Jika kita setia, kita berhasil mengenal, memahami dan mengalami Dia seutuhnya.

Kita bisa saja mengenal dan mengalami Tuhan secara berbeda.
Tapi soal salib dan derita, kita punya persepsi yang sama karenaNya.


Spmcm

Jumat, 23 September 2011


Tentang penulis Silvinus Sapomo :
Seorang pastor yang melayani pelayanan di Kiunga itu adalah ibu kota western province di negara Papua New Guinea. itu negara tetangg indonesia, di sebelah timur irian jaya. propinsi ini berbatasan langsung dengan merauke, tapi keadaannya lebih buruk dr merauke. berada di sini seperti berada di indonesia tahun 70an.
Jujur saja, saya berharap ada banyak Silvius Sapomo lain yang mau menjalani pelayanan di daerah2 terpencil di pelosok wilayah Indonesia. Kalo di negara sendiri terdapat begitu banyak tempat yang harus di layani, mengapa harus melakukan karya misionari di luar negri....
fb : http://facebook.com/sapomo

Istri Yang Pintar Menyetir dan Tivi plus Kekerasan

 Istri Yang Pintar Menyetir
 Pak Bambang: "Kalau istri saya menyetir kayak kilat aja!" (sambil geleng-geleng kepala)

Pak Rudi: "Maksud Bapak, cepat kilat seperti pembalap F1 di televisi itu?"

Pak Bambang: "Bukan. Dia suka menyambar pohon!"

Pak Rudi : ????????
==============================================================
 Tivi plus Kekerasan
Nanda memberitahu Nindi bahwa televisi dapat menimbulkan kekerasan.

Nanda: "Televisi memang menimbulkan kekerasan."

Nindi: "Kenapa kamu berkata seperti itu?"

Nanda: "Karena setiap kali aku ganti channel untuk memindahkan acara berita ke acara hiburan, maka ayahku akan langsung memukulku."

Nindi: @#$%$%^%&*???
 

Doa Anak

Ridi, yang baru kelas dua SD, malam itu mengeluh kepada Mamanya karena besok akan ada ulangan.

Ridi: "Ma, susah banget pelajarannya... sejak tadi tidak bisa-bisa sekarang Ridi pusing, Ma..."

Mama: "Jangan mengeluh sayang... cobalah sekali lagi dan jangan lupa berdoa. Besok kamu pasti berhasil."

Ridi masuk ke kamarnya lagi dan Mamanya merasa senang karena Ridi mulai tenang dan tidak sebentar-sebentar keluar. Selang beberapa lama Ridi keluar lagi tapi kini dengan wajah ceria.

Mama: "Kamu tadi sudah berdoa, sayang?"
Ridi: "Oh... pasti, Ma."

Mama: "Benarkan kata Mama, kalau kamu mau berdoa kamu pasti bisa belajar dengan baik. Eh, ngomong-ngomong kamu tadi berdoanya bagaimana?"

Ridi: "Ya Tuhan, Ridi pusing banget nih, tolonglah agar besok Bu Guru tidak masuk, sehingga tidak jadi ulangan. Terima kasih ya, Tuhan."

Mama: "&($@)%$&!@%$%!^%...????"

kiriman : Lidwina E.P

Jika Tuhan...

Jika TUHAN ijinkan aku pernah menangis
Aku Percaya ada senyum bahagia yang akan DIA berikan padaku

Jika TUHAN ijinkan aku terhimpit dalam berbagai persoalan hidup
Maka aku pun meng-IMAN-i bersama TUHAN ada kelegaan dalam segala hal

Bersama-NYA selalu ada pelangi sehabis hujan.......

Satu hal yang aku tahu bahwa rencana-NYA indah bagiku.......

AMIN.
 
kiriman : Lidwina E.P

Orang Bilang

Orang GURUN bilang AIR sangat BERHARGA,

Orang KUTUB bilang MATAHARI sangat BERHARGA,

Orang JEPANG bilang WAKTU sangat BERHARGA,

Orang CHINA bilang UANG sangat BERHARGA,

Dan TUHAN bilang yang PALING BERHARGA adalah KAMU ................

Pendeta dan Misionaris

Seorang pemuda yang akan berangkat ke ladang misi pamit kepada Pendetanya.

Pemuda: "Pak, tolong doakan, besok saya akan pergi ke ladang misi."

Pendeta: "Pergilah, Nak. Hati-hatilah di negeri orang, kau harus pandai bergaul, supaya banyak memenangkan jiwa."

Pemuda: "Bagaimana resepnya, Pak?"

Pendeta: "Ya, kalau kamu bertemu dengan tukang tahu, bicaralah soal tahu. Jika bertemu dengan tukang lontong, bicaralah soal lontong, dan jika bertemu dengan tukang sayur, bicaralah soal sayur."

Pemuda: "Bagaimana jika bertemu dengan ketiganya, Pak?"

Pendeta: "Ya, bicaralah soal gado-gado, Nak."

Pemuda: ???????

Definisi Cinta Dalam Berbagai Versi

Apakah cinta itu? Inilah jawabannya menurut profesi guru : Bahasa Indonesia : Cinta, Senin hingga Jumat dan Minggu merupakan kata benda, sedangkan malam minggu merupakan kata kerja. Ekonomi : Wahai cinta, berhati-hatilah dengan factor ekonomi, karena inti dari ekonomi dapat menghambat pertumbuhan cinta, khususnya untuk orang matre alias mata duitan. Geografi : Cinta sejati menambah angka kelahiran, sedangkan cinta yang terpaksa akan sama dengan pembunuhan yang dapat meningkatkan kematian. Matematika : 1+1 = 2, angka dua merupakan bilangan bulat positif dari hasil penggabungan rasa suka, setia dan pengertian. Sedangkan untuk hasil bilangan bulat negative lebih merupakan perpaduan dari sifat egois, cemburuan, dan pengkhianatan. Kimia : Unsur cinta banyak ditemukan di golongan IIA, karena perpaduan dua perasaan dan perilaku manusia, yakni Be (Belaian), Mg (Megang-megang), Ca (Ciuman), Sr (Sentuhan Mesra), Ba (Rabaan), dan Ra (Remasan). Semuanya itu, disatukan di laboratorium dalam keadaan gelap atau remang-remang. Inilah jawaban yang lain : Programmer Java : Cinta dapat dibuat dengan berbagai cara. Ada yang dibuat dengan report tersendiri, ada yang menggunakan Applet sederhana atau cinta gerak cepat, dan ada yang menggunakan class-class sendiri untuk level yang agak rumit alias perlu pihak ketiga untuk pendekatan. Tukang Kebun : Cinta bak bunga yang sedang dipupuk, jika bunga itu layu, maka sama artinya dengan patah hati. Jika mekar, maka keindahannya bak memenuhi seluruh kebun bunga. Dukun : Cinta ditolak? Malah menjadi rezeki, karena pepatah mengatakan "Cinta ditolak dukun bertindak" Pencipta Lagu : Cinta biarkan ada dan kita takkan berpisah, hanya maut yang bisa memisahkan cinta. Artis : “Cinta, dicari Rangga tuh!”

Cerita Tentang Bebek

Setelah tamat SMA, Tumpak kuliah ke Medan. Di sana dia melihat teman-temannya datang ke kampus dengan memakai mobil dan sepeda motor, hanya sedikit yang datang dengan berjalan kaki.

Kemudian si Tumpak mengirim surat ke bapaknya di kampung.
"Bapak, semua teman-temanku ke kampus naik kendaraan Kijang, Panther, Kuda, dan Jaguar, minimal mereka naik Bebek. Jadi, Bapak kirimlah uang terlebih dulu padaku supaya aku bisa beli kendaraan seperti mereka."

Tak lama kemudian, dia menerima balasan surat dan uang dari bapaknya,
"Nak, Bapak tak ada uang banyak, tapi Bapak pikir kau bisa beli ayam dengan uang ini. Kau naik ayam sajalah ke kampus, pasti naik ayam lebih cepat daripada naik bebek..."
 
 kiriman : Lidwina Eka Pratiwi

Aku Berasal dari mana , Ma

Joni, anak kecil yang berumur 7 tahun, suatu pagi berlari masuk ke rumah, mencari mamanya dan bertanya:
"Mama, Joni sebenarnya berasal dari mana, sih ?"

Mama Joni tercengang, tapi kemudian mulai menyadari betapa media informasi betul-betul telah membuat anak cepat menjadi dewasa.
Dengan penuh pengertian mama ini berkata: "Joni, bagaimana kalau tunggu Papa pulang. Papa akan jelaskan kepadamu dari mana kamu sebenarnya berasal. Oke..?

Dengan sedikit cemas, diam-diam ibu Joni menelpon suaminya yang ada di kantor dan menceritakan tentang pertanyaan Joni. Kesepakatan akhirnya dibuat bahwa sudah saatnya Joni mendengar sedikit "sex education", lebih baik mendengar dari orang tuanya dari pada dari media informasi yang mungkin kurang mendidik. Maka pulang dari kantor Papa pergi ke toko buku dan membeli beberapa gambar anatomi tubuh untuk keperluan itu.

Sepulangnya ke rumah, papa dan mama mengadakan sedikit perundingan dan persiapan di kamar tidur. Dengan mantap dipanggillan Joni untuk berbicara 6 mata. Bagi papa dan mama ini merupakan peristiwa penting, saat untuk membuktikan bahwa mereka telah berhasil menjadi orang tua yang baik dalam mendidik putranya.

Setelah 15 menit papa dengan susah payah menjelaskan tentang tubuh manusia dan bagaimana terjadinya pembuahan, Joni masih kelihatan bengong dan mulai kelihatan tidak tertarik.

Pama dan mama panik, merasakan kegagalan dalam menjelaskan hal yang sangat sensitif ini. Akhirnya mama bertanya, "Joni, ..memang ini hal yang sulit untuk dimengerti. Kami sungguh bangga kamu berani bertanya pertanyaan yang penting ini."

Joni menjadi semakin bingung, dan dengan putus asa ia berkata: "Ma, Joni heran kok susah banget sih jawabannya. Joni cuma mau tanya Joni ini berasal dari mana. Mama tahu kan, ada anak tetangga sebelah yang baru pindahan. Tadi pagi dia cerita dia berasal dari Yogya, dan katanya semua orang Jakarta dulunya berasal dari tempat lain. Dan dia tanya, Joni asalnya dari mana. Joni nggak tahu mau jawab apa, kan dari dulu Joni tinggal di Jakarta terus......!

Papa dan mama terkejut,
"...O..la..la.....?????"
kiriman : Lidwina Eka Pratiwi...

Keledai Yang Jatuh Ke Sumur



Suatu hari keledai milik seorang petani jatuh kedalam sumur.
Hewan itu menangis memilukan selama berjam-jam sementara si petani memikirkan apa yang harus dilakukannya.

Akhirnya, si petani memutuskan bahwa hewan itu sudah tua dan sumur juga perlu ditimbun (ditutup - karena berbahaya), jadi tidak berguna untuk menolong si keledai.
Dan ia mengajak tetangga-tetangganya untuk datang membantunya.
Mereka membawa sekop dan mulai menyekop tanah kedalam sumur.

Ketika si keledai menyadari apa yang sedang terjadi, ia menangis penuh kengerian. Tetapi kemudian, semua orang takjub, karena si keledai menjadi diam.
Setelah beberapa sekop tanah lagi dituangkan kedalam sumur.
Si petani melihat kedalam sumur dan tercengang karena apa yang dilihatnya.

Walaupun punggungnya terus ditimpa oleh bersekop-sekop tanah dan kotoran, si keledai melakukan sesuatu yang menakjubkan.
Ia mengguncang-guncangkan badannya agar tanah yang menimpa punggungnya turun kebawah, lalu menaiki tanah itu.

Sementara si petani dan tetangga-tetangganya terus menuangkan tanah kotor keatas punggung hewan itu, si keledai terus juga mengguncangkan badannya dan melangkah naik.

Segera saja, semua orang terpesona ketika si keledai meloncati tepi sumur dan melarikan diri !


THINGS TO LEARN :

Kehidupan terus saja menuangkan tanah dan kotoran kepadamu, segala macam tanah dan kotoran.
Cara untuk keluar dari "sumur" (kesedihan, masalah, dsb) adalah dengan mengguncangkan segala tanah dan kotoran dari diri kita (pikiran dan hati kita) dan melangkah naik dari "sumur" dengan menggunakan hal-hal tersebut sebagai pijakan.

Setiap masalah-masalah kita merupakan satu batu pijakan untuk melangkah.
Kita dapat keluar dari "sumur" yang terdalam dengan terus berjuang, jangan pernah menyerah !

Ingatlah aturan sederhana tentang Kebahagiaan :
1. Bebaskan dirimu dari kebencian
2. Bebaskanlah pikiranmu dari kecemasan.
3. Nikmati hidup.
4. Berilah lebih banyak.
5. Berharaplah lebih sedikit.
6. Tersenyumlah.
7. Miliki teman yang bisa membuat engkau tersenyum didalam berbagi suka duka.

~ Tuhan Yesus Kristus memberkati Anda sekeluarga ~