Saat Hidup tidak lagi bersahabat dengan kita... Tetap lah "pegang erat Tangan Tuhan" Jangan pernah kau berpaling dari NYA, sebab TUHAN lah sumber pertolongan kita kemarin, hari ini , besok dan untuk selama-lama nya...

Sabtu, 24 September 2011

Mutiara Di Dalam Limbah

oleh Silvinus Sapomo pada 08 September 2011 jam 1:57
Selasa, 16 Agustus 2011, saya mengawali patroli pertama yang sempat tertunda sepekan karena mesin dinghy yang rusak. Hari ini saya pergi bersama Sr. Beata DW, Sr. Imelda MSC dan Sr. Maryline MSC. Kedua suster yang terakhir akan mengadakan pembinaan untuk guru-guru sekolah dasar di kampung pertama tempat patroli kami, yaitu Joot. Dari kampung ini saya dan Sr. Beata bersama dengan satu pastoral agent yang akan menyusul kemudian meneruskan patroli ke delapan kampung yang lain. Tulisan ini saya berikan sebagai panorama singkat perjalanan saya selama 20 hari patroli menyusuri Fly River, menjumpai umat dan melayani mereka dalam aneka kebutuhan dan kesulitan yang mereka hadapi di sana.

Deru mesin Yamaha 40 PK memecah keheningan sungai. Ia membawa kami meninggalkan Kiunga, menyajikan pemandangan kiri-kanan yang mengering gersang, membelah air yang terkontaminasi limbah dan seolah-olah mengajak saya untuk berkenalan pada dunia baru: inilah parokimu. Hanya satu yang indah. Hanya satu yang bagus untuk dipandang mata: yakni cakrawala Papua New Guinea yang membentang cerah, kilau kemilau bak cahaya yang memancar dari surga. Aku suka memandangnya. Ia mampu menghibur kegalauan hatiku karena melihat alam yang rusak karena kerakusan para pendatang di bumi kasuwari ini. Setelah hampir dua jam di atas dinghy, kami sampai di kampung Katawim untuk menjemput dua guru yang akan ikut training. Ini kampung pengungsi dari Papua Barat yang terbesar di sepanjang border. Selanjutnya kami ke kampung Erecta, kampung lokal yang masuk lewat anak sungai Fly, tapi tak ada guru di sini. Maka kami kembali melanjutkan perjalanan dan tiba di kampung Joot jam dua siang. Di sini umat sudah berjejer menunggu di pinggir sungai.

Joot
Sore itu angin bertiup kencang. Segar rasanya. Aku tengah membuka kelapa muda pemberian umat juga. Tiba-tiba raungan klakson kapal dari sungai membuat semua penghuni kampung berlarian ke pantai. Ibu-ibu lari dengan menggendong anak-anaknya. Bapak-bapak berteriak dengan bahasa yang tak kuketahui  artinya. Ada pula para pemuda yang cepat-cepat memanjat pinang dan kelapa. Aku kira ada apa sampai mereka begitu? Rupanya klakson kapal itu adalah pertanda bahwa mereka datang untuk transaksi barter barang. Orang kampung membawa pinang dan kelapa untuk ditukar dengan sembako dari kapal barang. Sebuah transaksi jual-beli alami terjadi antara mereka yang saling membutuhkan. Umat di kampung ini hidup dari alam. Untuk kebutuhan lain mereka hanya bisa berharap dari kapal yang melintas di sungai. Terlalu mahal dan jauh untuk datang dan belanja di kota Kiunga. Mereka adalah para pengungsi dari Papua Barat juga. Mereka lari dan ‘benci’ dengan pemerintah Indonesia yang memperlakukan mereka semena-mena. Meski mereka tidak juga bisa hidup layak di kampung pengungsian, tapi mereka merasa bebas dari penindasan. Hari ini tepat tanggal 17 agustus untuk memperingati kemerdakaan Indonesia. Dalam hati, aku meminta maaf kepada negeriku. “Maaf, Indonesia, aku tidak bisa merayakan hari jadimu sementara aku berada di tengah umat yang sakit hati kepadamu.” Aku hanya berdoa dalam hati saja sebab tak mungkin menyebutnya dalam perayaan Ekaristi sore hari ini. Mereka menerimaku dengan ramah sebagai pastor, sebagai orang kalimantan dan bukan sebagai orang Indonesia apalagi orang jawa. Sebab mereka membenci tentara yang mereka tahu kebanyakan orang jawa.

Kuiu
Dinghy belum merapat ke pantai. Namun umat, ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak sudah berdiri di sana. Mereka menyambut kami dengan ramah. Semua barang segera terangkat di atas bahu-bahu yang kurus dan wajah yang kumus-kumus. Tentu bukan kurus dan kumus yang menjadi fokus. Melainkan semangat mereka yang luar biasa membawa apa saja yang mereka bisa. Mereka kurus dan kumus karena jadi korban. Mereka menjadi korban bencana banjir, korban politik dan korban ekonomi juga. Mereka mengungsi dari Papua Barat akibat kekerasan TNI yang menyerang kampung mereka. Mereka hanya bertahan di tanah rendah di pinggir Fly River. Setiap kali banjir akibat penambangan emas OK Tedi, mereka kehilangan segalanya. Rumah-rumah rusak. Ternak hanyut. Kebun hancur. Kolam dan sumur kotor. Bahkan sagu di rawa-rawa jadi layu dan mati begitu saja. Pasca banjir mereka selalu mulai lagi dari nol. Maka kedatangan kami jadi seperti penghibur bagi duka mereka. Dengan mereka kami duduk dan ngobrol bersama, masak dan makan bersama. Pada malam hari kami memutar DVD film Musa untuk mereka. Umat sekampung yang jumlahnya ratusan fokus pada layar TV kecil dan buram. Mereka semangat sekali menonton sementara nyamuk-nyamuk malam menggigit dan menaburkan benih malaria di dalam tubuh mereka. Itulah hiburan mereka. Tak jauh dari tempat itu, aku sendiri asyik mendengarkan cerita bapak tua eks tentara OPM di beranda rumahnya.

Mapruam
Satu kampung kecil di pinggir Sungai Fly yang dihuni sekitar 20 KK. Nasibnya sama dengan Kuiu. Kemarau membawa bencana dan musim hujan tak ada bedanya. Untuk mencari air minum harus masuk hutan sejam lamanya. Waktu patrol ini memang di musim kemarau. Umat hanya mengharapkan air dari tandon besar milik gereja, karena sungai Fly tercemar logam berat luar biasa. Kedatangan kami malah membuat mereka bingung memikirkan di mana tempat mandi. Tapi tidak dengan diriku. Aku menanyakan tempat di mana mereka biasa mandi. Lalu mereka menunjukkan sumur kecil. Dan rupanya itu bukan sumur, tapi lebih mirip kubangan di rawa yang masih tergenang air. Any way, no choice. That’s their life and I should be like them. Aku mandi di situ dengan dua kali kerja: mengumpulkan air itu di ember lalu menyiramnya ke tubuhku pula. Mereka tak terbiasa membuat sumur. Tepatnya bukan tak biasa, tapi soal pemahaman, pengetahuan dan pendidikan. Anak-anak di sini tidak belajar, karena memang tidak ada guru dan sekolah. Meski begitu mereka penuh semangat. Selama dua kali misa mereka menyiapkan perayaan liturgi dengan baik. Aku terharu karena mereka bernyanyi penuh semangat dengan madah bakti lama yang sudah tidak ada bentuknya. Satu buku untuk empat orang. Mereka memuji Tuhan dalam keterbatasan dan kesederhanaan yang tak sedikitpun mempengaruhi semangat dan iman mereka. Sungguh luar biasa kuasa Tuhan dalam hidup mereka.

Memeyop
Sore itu Telaga Bandika menunjukkan pesonanya. Dia menyambut kedatangan kami dengan daya pikatnya. Dinghy berjalan tenang, karena aku meminta skipper melakukannya. Air terus mengering. Ikan gastor berloncatan di kiri-kanan perahu kami. Aku tanya, apa itu gastor? Rupanya gabus toraja. Ah, yang benar saja, kataku. Di seluruh wilayah di Indonesia ikan jenis itu namanya gabus semua. Beberapa kali kura-kura muncul ke permukaan. Kata skipper, dia sedang mengambil udara segar. Ada-ada saja, pikirku dalam hati. Perahu kami merapat ke kampung di pinggir danau. Umat menyambut kami dengan gembira. Acara resmi di kampung ini sama dengan di kampung yang lain, yakni misa, kunjungan umat, sosialisasi lembar evaluasi dari keuskupan lalu mendengarkan aneka masukan dan kebutuhan mereka. Yang beda adalah alam dan keceriaan anak-anak mereka. Kampung dibangun di atas ketinggian menghadap ke danau. Setiap saat udara segar menghadirkan kenyamanan dan kesejukan. Aku betah sekali menikmati indahnya danau seraya sekali-sekali bermain dengan anak-anak. Suatu sore dua anak mengajak saya memanah ikan di kali pinggir danau. Baru setengah jam di sana sudah dapat beberapa ekor lele dan mujaer. Keasyikan kami diganggu dengan datangnya segerombolan anak perempuan. Mereka ingin bergabung juga. Yang satu mengusir mereka karena mereka berdua telanjang. Tapi karena ada aku, anak-anak perempuan itu tetap mendekat. Itu memaksa mereka mengenakan celananya. Mereka asyik menikmati mangga hutan mentah yang ada di pinggir kali. Aku coba sedikit saja, karena kecut sekali rasanya. Lalu kami pulang sambil berlarian dan kejar-kejaran di rawa. Tingginya tumbuhan perdu membuat kami berloncatan seperti kijang yang menikmati kebebasannya.

Kukuzaba
Ini kampung lokal yang unik. Nama lainnya Gimbagayib yang berarti kepala ikan busuk. Karena nama itu jelek, lalu diganti dengan Kukuzaba. Artinya? Tidak ada yang tahu. Lucu, bukan? Kukuzaba, satu kampung dengan lima bahasa: Motu, Pidgin, Inggris, Marin dan Malay. Yang terakhir itu sama aja dengan melayu atau bahasa Indonesia. Menurutku bukan melayu atau bahasa Indonesia, tapi Broken Malay. Semua bahasa itu bisa dipakai di sini. Sebagian besar penduduk adalah petani karet. Tapi tidak seperti di Indonesia atau Malaysia. Mereka di sini hanya menyadap karet bila mereka butuh uang cepat saja. Sehari-hari mereka lebih banyak di rumah. Meskipun begitu, Gereja di kampung ini memprihatinkan. Bukan bangunannya, tapi semangat umatnya. Kedatangan kami hanya diterima beberapa ibu dan anak-anak. Sedang para pemuda hanya duduk-duduk di bawah pohon saja. Saking jengkelnya, sambil memikul barang dan lewat di samping mereka, aku bertanya langsung: “Are you all Catholic?” Dan ketika mereka menjawab ‘ya’, aku minta mereka membantu anak-anak dan ibu-ibu mengangkat barang juga. Perayaan Ekaristi selama dua hari hanya dihadiri beberapa orang saja. Pemimpin umat menanyakan pada saya, apakah kita tetap misa atau batal saja? Saya berkata, sebagai imam saya misa tiap hari. Jadi, ada umat atau tidak, saya tetap akan misa. Mendengar itu dia segera mengajak beberapa orang yg sudah ada di sekitar gereja untuk masuk dan kami tetap misa. Pengalaman ini mengingatkan saya pada nasihat rohani Santo Vinsensius: “Meski di tempat itu hanya ada satu jiwa untuk diselamatkan, misi harus tetap dikerjakan.”  

Membok
Satu lagi kampung lokal yang menyedihkan secara rohani. Gereja merana dan sekolahnya juga. Umatnya banyak sekali. Hampir semuanya Katolik. Anehnya, ketua dengan kampung dan aneka kepengurusan dipegang oleh orang yang beragama Kristen, United Church. Awalnya ketika menuju kampung ini aku senang sekali. Air sungai Bingge tenang dan bersih. Ikannya juga banyak. Burung-burung besar mencari ikan di pinggir sungai. Aku berburu dengan senapan angin milik skiper, tapi tidak ada hasil. Mengapa? Pertama, karena memang tidak bisa menembak. Kedua, peluru senapan angin mana mungkin bisa mematikan burung yang besarnya dua kali ayam jantan. Kalaupun kena, paling-paling hanya membuat tubuhnya gatal saja. Kembali ke cerita kampung membok. Dalam pertemuan dengan semua pemuka umat, para pria banyak sekali bicara. Usul, saran dan kritikan macam-macam. Mereka bercerita banyak soal misi masa lalu dan pentingnya membuat paroki baru di kampung ini. Tapi, mereka sendiri tidak pernah terlibat dan ikut ibadat pada hari Minggu. Kedatangan kamipun tidak awalnya tidak mereka ketahui. Padahal jadwal sudah diedarkan jauh-jauh hari. Rupanya, yang banyak bicara itu adalah guru. Primary School milik misi Katolik di sini sepertinya tidak memberi kontribusi bagi Gereja. Mereka tidak terlibat dalam aktivitas Gereja. Kalau musim kemarau, para murid disuruh pulang ke kampung-kampung mereka, karena tidak ada air. Kepada anak asrama saya bertanya, kenapa kalian tidak membuat sumur? Mereka menjawab, kami ada sumur, pastor, tapi airnya habis. Tanya saya lagi, berapa meter dalamnya? Mereka menjawab dengan mengukur lengannya, segini, pastor. Pikirku, pantas saja. Sumur, koq dalamnya cuma sedalam lengan tangan. Lalu aku meminta mereka untuk membuat sumur itu paling tidak sepuluh kali panjangnya dari lengan mereka. Apa reaksi mereka? Itu nanti jadi lubang toilet, pastor. Oh my God...dan itu benar. Kalau saya melihat toilet mereka semuanya dalam-dalam. Unik dan sungguh unik. Untuk sumur hanya sepanjang tangan, tapi untuk kakus dibuat sedalam-dalamnya.

Karemgo
Setelah dari Membok kami menuju Karemgo dan berjalan kaki. Ini merupakan kampung lokal juga. Awalnya hampir sama; tidak ada respek yang cukup dari umat. Kami hanya diterima Mr. Gideon, pemimpin umat yang baik hati. Kami menginap di rumah dewan kampung yang kosong. Rumahnya bersih dan sangat bersih. Saking bersihnya, sampai-sampai tak ada perabot apapun. Ketika kami mau memasak baru bingung. Tidak ada kayu api. Tidak ada periuk. Tidak ada air juga. Untung ada satu ibu janda, pengungsi asal Merauke yang peduli kepada kami. Dia membawa beras, mie dan ikan kaleng kami ke rumahnya dan dia menyediakan diri untuk memasaknya juga. Sekitar jam delapan malam, aku kaget karena mendengar suara wanita berteriak-teriak dengan bahasa lokal. Rupanya ada tok save alias woro-woro alias lagi, pengumunan. Mereka keliling dari sudut ke sudut kampung dan berteriak-teriak keras. Mereka memberitahu bahwa sore tadi pastor datang ke kampung. Maka besok semua harus datang ke gereja untuk misa jam sembilan pagi. Setelah itu ada pertemuan dengan seluruh pemuka dan pemimpin dari berbagai sektor. Dan hasilnya sungguh efektif. Pagi itu banyak umat yang datang misa. Anak-anak datang ke gereja jauh lebih banyak lagi dari orang tuanya. Sr. Beata berkata kepadaku bahwa mereka suka lihat orang baru dan rambut baru. Suster itu benar juga, sebab sore hari saya sempat bermain basket dengan anak-anak di lapangan tanah liat yang berdebu. Sambil duduk istirahat ada seorang anak yang bisu tapi ramah sekali kepadaku. Dia tertarik melihat rambut panjangku. Sekalian saja aku minta dia mencabuti beberapa uban putih yang selama ini menghiasi kepalaku.

Kaikok
Dari Karemgo kami kembali ke Membok. Sehari sesudahnya kami meneruskan perjalanan ke kampung Kaikok. Kami kembali ke kampung refugee, kampung pengungsi dari seberang sungai. Kampung lama mereka di seberang namanya Ambotweng dan berada di wilayah Indonesia. Pada tahun 80an, kampung mereka diserang tentara. Banyak anggota keluarga mereka yang mati karena dianggap anggota OPM. Maka mereka melarikan diri ke seberang sungai di wilayah PNG. Trauma itu membuat mereka tidak mau lagi kembali ke kampung lama. Kampung ini cukup besar. Hampir 100 KK jumlahnya. Ada Elementary School yang guru-gurunya juga peduli dengan Gereja. Umat sudah mempersiapkan segala sesuatu dengan baik sebelum kami sampai di sini. Perayaan Ekaristi meriah dengan tariannya juga. Pertemuan umat juga berlangsung dengan baik. Bahkan mereka meminta waktu supaya ada pelatihan khusus bagi pemimpin ibadat dan pelayan komuni. Minta waktu juga untuk pengakuan dosa. Ini sebuah kesadaran yang luar biasa dalam patroli kali ini. Hanya di sini umat sungguh-sungguh menggunakan waktunya dengan baik. Aku bersyukur kepada Tuhan, sebab di tempat yang serba sulit seperti ini, umat tetap mengutamakan iman dan hidup rohani mereka sendiri.

Erecta
Patroli kami diselamatkan oleh hujan tiga hari sebelumnya. Perlahan-lahan air naik. Jika tidak, kami tidak bisa masuk ke kampung Erecta melalui sungai. Hujan tiga hari menaikkan debit air. Hal ini membantu kami juga untuk menghemat bahan bakar. Kami bisa melewati beberapa short cut/jalan pintas sehingga jarak bisa lebih dekat. Tapi masalah tetap saja ada. Air hujan menghanyutkan sampah dan kayu-kayu besar dari kali Fly ke sungai-sungai kecil. Sejak meninggalkan Membok kami melihat air sungai Bingge yang perlahan-lahan kotor karena didesak air yang lebih banyak dari Fly River. Begitu juga di sungai Erecta. Ketika pulang meninggalkan Erecta, kami butuh waktu 15 menit untuk keluar dari hadangan gelondongan kayu-kayu besar di tengah sungai. Oh ya, aku belum cerita tentang situasi Erekcta. Malah sudah cerita soal kepulangan. Maaf, saya kembali lagi ke cerita tentang Erecta. Di sini umat tercerai-berai. Bukan hanya soal agama, tapi juga populasi dan edukasinya. Dulu kampung ini mayoritas Katolik. Tapi sekarang tinggal sedikit, karena umat dihasut oleh Gereja Kristen. Mereka menyerang aneka doktrin Gereja Katolik  seperti yang kita alami juga di Indonesia. Kampung ini cukup besar, tapi dipisahkan oleh sungai. Orang-orangnya tidak banyak yang tinggal di kampung, karena dekat dengan Kiunga. Sehari-hari mereka biasa pergi menjual hasil bumi ke kota dengan dinghy dan kano bermesin. Mereka punya fasilitas itu, sebab sebagai kampung lokal, mereka adalah tuan tanah. Mereka rutin mendapat uang dari OK Tedi sebagai ganti rugi kerusakan alam di tanah mereka. Tapi sayangnya, mereka tidak bisa mengaturnya. Uang hanya dihabiskan untuk foya-foya. Rumah mereka tetap saja seadanya. Ada banyak fasilitas umum yang dibangun OK Tedi di kampung ini. Sekolah, WC dan kamar mandi umum, sumur bor, aula pertemuan, dan lain-lain. Itu semua dulunya dilengkapi dengan listrik solar panel. Tapi sekarang semuanya terbengkalai tak ada artinya. Sekarang malah ditumbuhi rumput liar. Pintu sekolah dipaku rapat oleh dewan kampung, karena guru malas mengajar tapi tetap mau menerima gaji dari pemerintah. Sebuah situasi yang buruk, karena kemajuan teknologi tidak seiring dengan pengetahuan masyarakatnya. Sungguh, ini PR besar bagi setiap orang yang peduli pada nasib mereka.

Menyimak ulang aneka pengalaman selama tiga minggu di sembilan kampung sungguh luar biasa. Aku seperti sedang mencari mutiara iman di dalam limbah dan derita hidup mereka. Betapa tidak? Aku bersyukur setiap kali menemukan situasi di mana umat bertahan dalam iman sekalipun dunia dan hidup mereka penuh dengan kesusahan dan derita akibat limbah dan endapan sedimentasi tambang emas OK Tedi. Aku sedih dan meratap di dalam hati ketika melihat misi Gereja bagi umat lokal belum menunjukkan kemajuan meski sudah genap setengah abad. Bahkan sudah memakan korban jiwa juga. Di membok ada monumen ekor pesawat di depan sekolah. Itu adalah pesawat misi yang jatuh ke sungai dan terbakar pada tahun 90an. Fr. Butch, SMM yang juga sebagai pilot dan Sr. Pierrete, DW dan seorang bayi meninggal dunia dalam kecelakaan itu. Yang selamat hanya seorang ibu dan Fr. Gilles Cote, SMM yang sekarang menjadi Uskup Kiunga. Peristiwa ini pernah ditulis oleh Romo Mans Werang dalam bukunya dengan judul “Jatuhnya Pesawat Kami”. Mereka telah menunjukkan cintanya pada tanah misi. Namun rupanya sampai hari ini benih yang mati itu masih belum tumbuh juga. Dalam perjalanan patroli ini aku sering bercanda dengan kedua rekanku, “we are going together to proclaim the Kingdom of God, but we find here the Kingdom of DoG(s).” Ini lelucon kami yang nyata. Di setiap kampung yang kami singgahi terlalu banyak anjing. Anjing-anjing ikut tinggal dan makan di dalam rumah. Setiap pagi yang membangunkan kami adalah gonggongan dan perkelahian anjing-anjing yang memperebutkan betina mereka. Akan tetapi, tolong jangan beri perhatian pada anjingnya. Aku mengajak anda semua untuk melihat lebih dalam, yakni iman mereka. Iman yang mendesak kami untuk berusaha dan bekerja lebih keras lagi. Iman yang mendorong kami berseru dan berteriak lebih keras daripada gonggongan anjing mereka. Ini perlu supaya ‘kingdom of God’ lebih menarik daripada ‘kingdom of Dog’. Ini perlu juga untuk menemukan mutiara di antara limbah. Mutiara iman yang terkubur dan tergusur oleh limbah tambang emas OK Tedi.


spmcm

Kamis, 8 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar