Saat Hidup tidak lagi bersahabat dengan kita... Tetap lah "pegang erat Tangan Tuhan" Jangan pernah kau berpaling dari NYA, sebab TUHAN lah sumber pertolongan kita kemarin, hari ini , besok dan untuk selama-lama nya...

Sabtu, 27 Agustus 2011

[WISATA ROHANI] Gedono - Cerita Sekeping Surga



Dengan naik bus umum, kami meninggalkan Ambarawa menuju Salatiga. Jarak tempuhnya sebetulnya tidak terlalu jauh, tetapi karena bus lama berhenti untuk mencari penumpang, maka perjalanan jadi bertambah sekitar 1 jam. Sampai di Terminal Tingkir Salatiga, kami melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke arah Boyolali/Solo, sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Suster Martina, OCSO kepada kami.

Jalan kaki dengan memanggul ransel ternyata cukup membuat kami ngos-ngosan.
Kami berharap cepat menemukan papan penunjuk ke arah Gedono.
Syukurlah, setelah beberapa saat akhirnya kami temukan juga pertigaan ke arah Gedono. Sebuah plang kecil bertuliskan “GEDONO” membuat kami yang sudah kelelahan jadi bersemangat lagi. Lalu, dengan naik ojek, kami melanjutkan perjalanan ke Gedono. Untung Suster Martina sudah melengkapi kami dengan informasi, termasuk ongkos ojek. Namun demikian, nampaknya Bapak Tukang Ojek itu sama sekali tidak berniat “menodong” kami. Jadinya, tidak ada tawar-menawar yang rumit.


Dari pertigaan itu, kami masih harus menempuh perjalanan kurang lebih 7 km lagi. Lumayan juga. Tapi, sama sekali tidak rugi, karena ternyata pemandangan di sisi-sisi jalan sangat menarik. Hijau di mana-mana. Rumah-rumah yang jarang-jarang dengan bentuknya yang masih asli (khas rumah Jawa). Kami menikmati pemandangan pedesaan di sepanjang jalan kecil beraspal hitam itu.

Dan, akhirnya, setelah melewati jalan kecil panjang yang menanjak itu, kami sampai juga di pertapaan Santa Maria Bunda Pemersatu, Gedono. Udara yang segar cenderung dingin menghilangkan kelelahan kami. Malahan, kami jadi lapar…

Sr. Martina OCSO menyambut kami dengan ramahnya. Beliau segera menunjukkan kamar kami berserta kelengkapannya (kamar mandi, kamar cuci). Mata saya langsung terperangkap pada arsitektur Gedono yang unik. Dindingnya semua menggunakan batu gunung asli, yang disusun sedemikian rupa. Di beberapa bagian direkatkan dengan semen. Dinding batu tebal ini dipadu dengan jendela kayu berbentuk kubah, mirip dalam gambar-gambar di cerita kurcaci jaman saya kecil. Perpaduan batu gunung, kayu coklat, dan kusen warna putih sungguh sangat cantik kelihatannya. Ditambah lagi dengan lubang angin yang dibuat berbentuk lingkaran, kubus, persegi panjang, dan disusun dengan artistik di dinding, benar-benar membuat tembok itu menjadi seperti sebuah karya seni.

Belum sempat saya menikmati indahnya bangunan Gedono, Sr. Martina sudah menyuruh kami untuk minum air hangat dan menikmati snack. Tawaran yang tentu saja langsung kami iyakan… Dan, segelas air teh di pagi itu sungguh menjadi surga bagi perut kami yang sudah keroncongan dari tadi. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 10.30an.

IBADAT
Selanjutnya, kami memulai kegiatan di Gedono dengan mengikuti Ibadat Tengah Hari (Sexta). Begitu mendengarkan para suster itu menyanyikan serangkaian mazmur sebagai doa, hati saya langsung luruh. Suara mereka begitu bening dan halus seperti suara gemerincing kristal atau dentingan harpa. Kebanyakan para suster ini berdoa dengan diiringi zithera (mirip harpa). Perpaduan antara zithera dan lantunan suara para suster ini sungguh sulit diungkapkan dengan kata-kata. Heavenly! Lebih seperti mendengar kemericik air, atau gesekan bambu, atau siulan burung. Nada-nada yang terpadu itu begitu indah dan lembut. Wah, saya begitu terpana… Yang saya suka adalah harmonisasi antara alat musik pengiring dengan lantunan suara para suster. Tidak ada yang saling mendominasi. Bunyi zithera yang lamat-lamat malah membuat indah paduan lantunan doa itu. Memang saya ke sana untuk berdoa (dan bukannya jadi pengamat musik gereja dadakan!), tapi, harus saya akui, bahwa musik dan lantunan suara yang harmonis sungguh sangat membantu saya membangun suasana doa. Ketika pulang, saya membeli beberapa CD lagu-lagu Senandung Gedono. Tapi, ternyata mendengarkan CD jauh berbeda dengan mendengarkan aslinya!

Dalam sehari para suster di Pertapaan Santa Maria Bunda Penebus Gedono ini melakukan enam kali ibadat ditambah satu kali misa. Dini hari pada pukul 3.15 ketika malam masih begitu pekat, ditambah lagi dengan kabut dan dingin yang menusuk tulang, para suster di biara ini sudah mengadakan Ibadat Malam. Ibadat ini dilanjutkan dengan doa/meditasi selama 30 menit. Pada saat Ibadat Malam ini penerangan digunakan secara minim. Pada beberapa bagiannya, lampu bahkan dipadamkan. Yang disisakan hanyalah lampu di bagian pengunjung (kami). Terlebih pada saat doa/mediasi, tidak ada satu lampu pun tersisa, kecuali lampu merah di Sakristi, dan lampu yang dengan lembut menyorot patung Bunda Maria di sudut kapel.

Bicara tentang patung Bunda Maria ini, saya pada mulanya tidak sadar, bahwa yang sedang disorot itu adalah patung Bunda Maria. Patung itu sejak awal tidak langsung menarik perhatian saya. Setelah satu hari di sana baru sel-sel kelabu dalam kepala saya bekerja. Saya mengamati dengan seksama patung berwarna kecoklatan yang sedang disorot lampu itu. Tidak hanya itu saja, umat yang pun memiringkan tubuhkan supaya secara khusus menghadap pada patung itu. Barulah kilat menyambar otak saya: itu adalah patung Bunda Maria! Bunda Maria mengenakan jarik, kebaya, dan bersanggul konde a la ibu-ibu dari Jawa. Di tangan kanannya Beliau menggendong Bayi Yesus dengan menggunakan selendang jarik, sedangkan tangan kanannya terulur kepada umat, seakan berkata: “Sini, Nak…”.

Saya sangat menyesali kebutaan saya terhadap Bunda Maria dalam visi Jawa ini! Namun, di lain pihak, patung itu benar-benar unik. Warna coklatnya sangat alami. Bunda Maria juga digambarkan begitu sederhana, seperti ibu-ibu di pasar Beringharjo. Saya pernah melihat Bunda Maria dalam visi Bali di sebuah gereja di Denpasar. Saya ingat saya langsung mengenali bahwa itu Bunda Maria yang digambarkan dengan pernak-pernik khas Bali. Herannya, kok otak saya bisa begitu tumpul ketika berhadapan dengan Dewi Maria ini.

Selanjutnya, pada pukul 6 pagi diadakan misa, yang diintegrasikan dengan Ibadat Pagi. Karena jarak antara selesainya Ibadat Malam dengan Misa tidak terlalu jauh (kurang lebih 1 – 1,5 jam) maka saya tidak mau tidur lagi (takut malah ketiduran). Saya gunakan untuk jalan-jalan di sekitar pertapaan. Melihat langit yang berubah pelan-pelan dari pekat, menjadi agak terang, agak terang, agak terang, dan kemudian benar-benar terang merupakan pengalaman yang menakjubkan buat saya. (Sebetulnya, tidak bisa dibilang benar-benar terang. Kabut tebal kadang menyulitkan sinar matahari untuk menerobos masuk).

Tepat pukul 8 pagi diadakan Ibadat Tertia. Ibadat selanjutnya adalah Ibadat Tengah Hari (Sexta) pada pukul 11, yang lalu dilanjutkan dengan Makan Siang. Berikutnya pada pukul 13.10 diadakan Ibadat Siang (Nona).

Ibadat Sore dilaksanakan pada pukul 16.45. Pada saat Ibadat Sore sekaligus juga dilakukan Pentahtahan Sakramen Maha Kudus (Adorasi). Setelah itu disambung dengan doa pribadi/meditasi selama 30 menit.

Ibadat terakhir pada hari itu adalah Ibadat Penutup pada pukul 18.55.
Lagu-lagu yang dinyanyikan tidak semuanya berbahasa Indonesia. Terkadang dinyanyikan juga lagu-lagu Gregorian (Te Deum, Salve Regina, atau lagu lagu-lagu Ordinarium lain). Yang menarik adalah, para suster juga menggunakan lagu-lagu yang digunakan oleh Gereja Katolik Ritus Timur. Pada saat Ibadat Penutup digunakan Ibadat Penutup Byzantium; lagu-lagunya terdengar familiar, namun tetap “eksotis”. Buat saya, tidak saja saya bisa berdoa, namun juga telinga saya serasa termanja dengan alunan musik dan lagu-lagu yang lembut, merdu, dan syahdu, yang dinyanyikan para suster dalam setiap ibadatnya.

MALAM PERGANTIAN TAHUN
Kami berada di Gedono tepat ketika saat pergantian tahun 2010 ke 2011.
Hari itu di pertapaan sendiri tidak tampak hal-hal yang lain dari biasanya. Seolah-olah para suster tidak sadar bahwa tahun sudah berganti.
Hari masih sore ketika kabut tebal sudah turun di sekitar pertapaan. Kabut tak juga menipis, sampai kami mengadakan Ibadat Penutup. Satu-satunya yang menandai adanya suatu “peristiwa besar” pada malam itu adalah digunakannya Ibadat Penutup Byzantium, yang merupakan kekhasan dari Pertapaan Bunda Maria Pemersatu Gedono.

Setelah ibadat Penutup, Sr. Martina berinisiatif untuk mengajak para tamu (yang sudah tinggal 7 orang) untuk mengadakan ibadat kecil di depan gua Natal, di muka pintu utama pertapaan. Ibadat itu sederhana sekali. Kami menyanyikan satu-dua lagu Natal, kemudian berdoa dan saling mendoakan. Besok kami masing-masing sudah tidak bisa saling bertemu satu sama lain.
Setelah itu, semua berlangsung seperti biasa. Kabut tetap turun, kami kembali ke kamar masing-masing. Berangkat malam dari kejauhan terdengar berbagai bunyi-bunyian menyambut pergantian tahun; mulai dari petasan, sampai dangdutan dan wayangan.

Saya sendiri bangun, tepat pada pukul 12 malam itu. Saya mencoba keluar, tujuan saya ke kapel, tetapi pintu kapel ternyata terkunci. Ya sudah, saya kembali ke kamar. Namun, sempat saya lirik langit hitam di atas kepala saya. Kabut sudah menipis, bintang kelihatan satu dua di antara bayang-bayang pohon. Bulan sama sekali menghilang. Malam itu sama sekali tidak meriah, apalagi spektakuler.
Namun, sadar bahwa masih diberi kesempatan melihat hari dan tahun baru membuat saya tidak memperdulikan betapa tidak meriahnya malam tahun baru saya.
Apalagi, bila saya mengingat betapa penyertaan selama tahun 2010 khususnya, tidak bisa tidak saya mensyukuri langit hitam dan bintang satu dua yang jadi pemandangan malam tahun baru saya…

SAYA DAN MAKANAN
Bila memang tujuannya bukan untuk berdoa, mungkin Gedono menjadi tempat yang kurang menarik. Karena selain bentuk bangunannya, nyaris tidak ada lagi yang bisa “dinikmati” di sana. Para tamu juga tidak diperbolehkan melihat-lihat kebun dan peternakan sapi milik para suster. Sehingga, waktu kosong nyaris terasa banyak. Saya pernah mencoba membujuk bapak yang menjaga gerbang ke arah kebun suster, untuk mengizinkan saya masuk. Bapak itu berkata dengan lugu: “Jangan, Mbak, ndak boleh masuk. Saya juga ndak boleh…” . Ya sudah… Memang kelihatannya Tuhan lagi menyuruh saya untuk serius berdoa, dan bukannya blusukan ke mana-mana… Saya sendiri akhirnya mengisi waktu dengan mengetik di Blackberry saya.

Sekali, pada suatu pagi, saya menggunakan waktu untuk berdoa Jalan Salib sendirian di pelataran bawah, di mana disediakan jalur khusus untuk Jalan Salib.
Walaupun tidak hapal peristiwa-peristiwa dalam Jalan Salib, saya nekat saja. Saya merenung saja di depan Salib yang bertempel gambar peristiwa, sambil merasakan udara dingin yang menampar pipi dan buku tangan saya… Kalau saya menuliskan “kicauan burung”, “gemerisik daun”, mungkin terasa klise. Namun, pagi itu memang indah sekali berdoa sambil mendengarkan kicauan burung yang bersaut-sautan dari satu pohon ke pohon lain. Mendengar gemerisik daun ditiup angin, sambil merasakan keras dan dinginnya batu-batu gunung di telapak kaki saya. O ya, sekeliling pertapaan nampaknya ditanami dengan pohon cengkeh. Indahnya pohon cengkeh ini adalah daunnya yang masih muda berwarna jingga cenderung semburat merah.
Jadi, bisa anda bayangkan, paduan nuansa hijau, jingga, dan kemerahan di sekeliling anda… Sungguh luar biasa!

Makanan menjadi tantangan tersendiri. Udara dingin membuat saya cepat lapar. Biasanya kalau di rumah, asal lapar, saya mencari makanan. Dan biasanya makanan yang masuk adalah makanan yang gurih lezat, seperti kentang goreng, camilan, mie instant, dll. Di Gedono tentu saja saya tidak bisa makan sesuka-suka saya. Padahal, perut saya sepertinya lapar setiap saat… Alhasil, jam makan menjadi saat yang paling ditunggu-tunggu! Masakan suster pada umumnya sederhana, tapi segar! Begitu merasakan masakan suster, saya langsung tahu bahwa suster sama sekali tidak menggunakan MSG atau “kaldu ayam” (bahan masakan yang jadi kesukaan saya).
Tidak hanya itu saja, jumlah garam yang digunakan suster pasti jauh di bawah takaran saya di rumah. Sekali lagi, saya adalah tipe orang penyuka garam dan bumbu masak. Makanya, lidah saya tersiksa, karena terbiasa termanja dengan berbagai makanan gurih! Tidak hanya lidah saja, tapi keinginan untuk makan sebanyak-banyaknya pun jadi tersendat, karena lidah agak macet mengolah makanan! Hahaha…. Alhasil, perut lapar berat, tapi, lidah masih mencoba bernegosiasi dengan rasa.

Namun, saya langsung merasakan manfaatnya: sampai hampir dua minggu setelahnya saya bebas dari migren yang biasanya jadi tamu harian saya! Saya percaya, pengurangan MSG dan garam membantu mengusir migren saya yang suka membandel. Sekarang saya tidak mau lagi menggunakan “kaldu ayam”, dan mengurangi jumlah garam dalam masakan. Aduh, suster, terima kasih! Bukan hanya hati saya yang sejuk dan adem, kepala saya yang suka migren juga terasa lebih lega, leher saya tidak kaku dan kemeng-kemeng. Saya tak menyangka mendapat bonus sehat dari kunjungan ke Gedono… hehehe…

Di Gedono juga saya memberanikan diri mencoba makanan yang tidak saya sukai: yogurt! Saya heran, karena banyak orang datang ke Gedono, hanya khusus untuk membeli yogurt. Bahkan saya sempat ketemu seorang gadis dari Jakarta yang sedang jalan-jalan ke Salatiga. Dia sampai rela menunggu waktu buka toko, untuk membeli yogurt Gedono.
Saya pun jadi tertarik, padahal saya tidak suka susu dan produk-produk olahannya. Sambil menutup hidung, saya mencoba yang botol kecil, yang rasa sirsak. Hweeeehh!!! Saya tidak tahu enaknya di mana. Tapi, yang jelas, memang saya merasa perut saya agak “enteng” setelah itu…
Yang paling saya suka dari Gedono adalah selainya. Wah, kalau yang ini benar-benar top markotop! Rasa manisnya tidak tajam, juga tidak ada bau-bauan bahan pembuat makanan. Teksturnya pun lembut, dengan rasa “printil-printil” yang membuat sensasi tersendiri…

AKHIRNYA, HARUS PULANG
Hari itu, tanggal 1 Januari 2011, selesai ibadat pagi dan kemudian sarapan, kami pulang. Walaupun rasanya berat meninggalkan suasana yang begitu tenang dan damai di Gedono, tapi, tidak bisa tidak, kami harus pulang. Kami tidak lagi pamit pada Sr. Martina, karena beliau sedang ada kegiatan. Namun, kemarinnya kami sudah berpamitan.

Kami menggunakan ojek yang kami pakai ketika datang.
Suster Martina sudah mengingatkan bahwa tidak ada kendaraan umum lain selain ojek, sehingga harus memesan ojek sebelumnya. Untung bapak tukang ojek kami juga berinisiatif, ketika mengantar kami waktu kami datang, bapak itu sudah menawarkan untuk mengantar pulang.

Naik ojek, kami menyusuri jalan aspal sempit, menuju ke kota Salatiga. Angin dingin mengantar kami pergi meninggalkan lereng yang dipenuhi pohon cengkeh. Di pinggir jalan kami masih melihat seorang ibu sedang memecah batu-batu gunung menjadi bongkahan lebih kecil. Agak berapa lama baru kami berjumpa dengan perkampungan penduduk. Ahai, iri juga melihat mereka bisa setiap hari menikmati udara bersih, jauh dari polusi, jauh dari macet, jauh dari orang yang ugal-ugalan dan saling maki di tengah jalan…

Di Terminal Tingkir, kami melanjutkan perjalanan ke Semarang, meninggalkan sekeping surga di belakang kami.

Pekanbaru, 10 Januari 2011, Agnes Bemoe & Ch. Mulyani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar